REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian baru mengungkapkan kemanjuran (efikasi) vaksin Covid-19 Pfizer menurun menjadi sekitar 84 persen setelah sekitar enam bulan seseorang mendapat dosis lengkap. Penelitian yang belum melalui proses peninjauan sejawat itu dipublikasikan server medRxiv.
Penelitian itu menyimpulkan bahwa meskipun tren kemanjuran vaksin Pfizer secara bertahap menurun, namun masih sangat manjur dalam mencegah Covid-19. Studi tersebut didukung oleh Pfizer dan BioNTech.
Data dari penelitian tersebut mencatat bahwa efikasi terkuat vaksin itu mencapai 96,2 persen, yang terjadi antara tujuh hari hingga dua bulan setelah mendapat dosis kedua. Dari dua bulan hingga empat bulan, kemanjuran vaksin itu menurun menjadi 90,1 persen.
Lalu, dari empat bulan hingga enam bulan, efikasi vaksin Covid-19 Pfizer menurun menjadi 83,7 persen. Para peneliti menghitung penurunan efikasi vaksin rata-rata sekitar enam persen setiap dua bulan.
Studi ini menemukan bahwa vaksin secara keseluruhan mencapai sekitar 91 persen kemanjuran dari tujuh hari hingga enam bulan setelah dosis kedua diterima pada peserta penelitian yang berusia 12 tahun ke atas. Penulis dari penelitian itu menyatakan bahwa saat ini uji coba dosis booster (penguat) tengah berlangsung.
"Tindak lanjut yang berkelanjutan diperlukan untuk memahami keandalan efek vaksin dari waktu ke waktu, kebutuhan untuk dosis booster, dan jangka waktu dosis semacam itu," kata penulis penelitian tersebut, dilansir Fox News, Kamis (29/7).
Pfizer sebelumnya telah mengisyaratkan niatnya untuk mengajukan otorisasi penggunaan darurat untuk suntikan ketiga. Awalnya, ide ini mendapat tanggapan tajam dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS dan lembaga Administrasi Obat dan Makanan AS (FDA).
Kedua lembaga tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan awal Juli bahwa warga Amerika Serikat yang telah divaksinasi lengkap sejauh ini tidak memerlukan dosis tambahan.
"FDA, CDC, dan National Institutes of Health (NIH) terlibat dalam proses ketat berbasis sains untuk mempertimbangkan apakah atau kapan booster mungkin diperlukan," kata pernyataan studi tersebut.