REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para nelayan sudah aktif bekerja sebelum matahari terbit di teluk Gabès, di bagian timur Tunisia. Teluk itu panjangnya sekitar 100 km. Dibanding dulu, nelayan sekarang harus melaut lebih jauh lagi dari pantai, untuk bisa menangkap ikan.
Abdallah El Adib bercerita, ia sudah jadi nelayan selama 38 tahun. Selama itu, banyak yang sudah berubah.
Selama 20 tahun lalu, dia biasa menangkap sejumlah besar udang. Tapi dalam tahun-tahun terakhir, ada beberapa kejadian yang membuat tangkapan berkurang. Masalah terakhir adalah kepiting biru. Hewan ini memangsa segalanya.
Kepiting biru adalah salah satu hewan invasif paling rakus di dunia. Keberadaannya mengancam spesies dan keseimbangan ekosistem lokal, tapi juga membawa untung.
Kepiting "Daesh"
Kepiting biru pertama ditemukan di kawasan ini akhir 2014. Spesies ini dulunya tidak dikenal di Tunisia. Jumlah hewan invasif ini meningkat pesat, dan dalam delapan bulan, sudah jadi ancaman besar.
Kepiting ini memotong jaring, memakan ikan dan memangsa segalanya. Ini jadi masalah besar, sehingga para nelayan menyebut mereka “Daesh”, seperti kelompok militan yang menyebut diri Islamic State atau ISIS.
Kepiting biru sebenarnya berasal dari kawasan Indopacific. Hewan ini datang lewat Laut Merah dan Terusan Suez, seperti halnya sekitar seribu spesies lainnya yang sampai di kawasan Laut Tengah, dan berasal dari kawasan lain dunia.
Di Institut Nasional Tunisia untuk Ilmu Kelautan dan Teknologi, Olfa ben Abdallah dan timnya sedang mempelajari spesies itu.