REPUBLIKA.CO.ID, ZHENGZHOU -- Banjir bandang yang mematikan terjadi di China tengah. Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa sistem peringatan dini negara itu tidak mampu menangani peristiwa cuaca ekstrem yang diperburuk oleh perubahan iklim.
Seluruh blok Zhengzhou, ibu kota provinsi Henan di Cina tengah, terendam minggu ini. Korban tewas resmi di seluruh provinsi Henan naik menjadi 33 pada hari Kamis (22/7), dengan delapan orang hilang sementara 376 ribu orang telah direlokasi.
Pemerintah China menyebut hujan deras sebagai peristiwa sekali dalam 5.000 tahun. Tetapi para aktivis iklim khawatir bahwa otoritas kota hanya samar-samar menyadari meningkatnya risiko perubahan iklim dan bagaimana mengelolanya.
Masih menjadi pertanyaan ketika peringatan yang dikeluarkan oleh peramal cuaca gagal menghasilkan evakuasi awal atau penutupan sekolah dan transportasi umum di seluruh kota.
Cheng Xiaotao, mantan direktur Institut Pengendalian Banjir dan Mitigasi Bencana di Institut Penelitian Sumber Daya Air dan Tenaga Air China, mengatakan negara itu belum menciptakan mekanisme tanggap darurat untuk apa yang harus dilakukan setelah peringatan merah dikeluarkan.
"Setelah peringatan, dalam situasi seperti apa kita harus menghentikan pekerjaan dan manufaktur? Bagaimana seharusnya berbagai departemen berkoordinasi? Apa tindakan darurat yang sebenarnya harus diambil sebagai tanggapan?" kata Xiaotao dilansir di Financial Times, Kamis (22/7).
Para pemerhati lingkungan memperingatkan bahwa risiko hujan lebat ekstrim berubah menjadi banjir bandang telah diperburuk oleh kota-kota China yang berkembang. Di sisi lain, badan air alami yang mampu menyerap curah hujan kian menipis.
Pemerintah Zhengzhou merencanakan pada tahun 2018 untuk menghabiskan, 53 miliar yuan pada tahun 2020 untuk membatasi banjir. Caranya dengan menciptakan distrik perkotaan 'spons' yang mampu menyerap hujan deras dengan saluran air dan infrastruktur drainase.
Pada musim panas 2012, sekitar 80 orang tewas di Beijing setelah hujan deras membuat pengemudi terjebak di mobil mereka di jalan bawah tanah yang banjir. Pihak berwenang merespons dengan meningkatkan sistem peringatan untuk memasukkan panduan yang jelas setelah peringatan merah, tetapi hanya sedikit pemerintah daerah lain yang mengikuti contohnya.
"Penilaian risiko untuk perubahan iklim dan cuaca ekstrem belum menjadi prioritas bagi sebagian besar kota, tetapi seharusnya menjadi prioritas," kata Liu Junyan, juru kampanye Greenpeace Asia Timur yang berbasis di Beijing.
China secara resmi menerima ilmu perubahan iklim dan Presiden Xi Jinping telah menjadikannya prioritas politik untuk membatasi emisi karbon dioksida negara itu sebelum 2030 dan mencapai netralitas karbon pada 2060.
Tetapi jarang pejabat Partai Komunis menghubungkan peristiwa cuaca individu dengan perubahan ekologi yang lebih luas. Tidak seperti banjir baru-baru ini di Eropa, media dan pejabat pemerintah China telah menghindari menghubungkan banjir di Henan dengan perubahan iklim.