REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Stres akibat panas yang dipicu perubahan iklim akan mengancam produktivitas pekerja. Artinya, para buruh yang harus bekerja di luar ruangan, akan bekerja lebih sedikit. Penghasilan mereka yang sudah kecil kian berkurang.
Pekan lalu, saat temperatur mencapai suhu 35 derajat Celcius selama beberapa hari di Eropa, orang-orang sudah mengeluh karena kelelahan akibat suhu panas. Keluhan ini terdengar di kalangan para pekerja baik yang di kantor maupun di luar ruangan.
Lalu bagaimana dengan mereka di negara-negara khatulistiwa dan Asia selatan? Orang-orang harus bekerja di tengah udara yang kian panas akibat perubahan iklim. Dan ini tidak hanya berlangsung selama beberapa hari, tapi nyaris sepanjang tahun.
Pemanasan global dan penurunan produktivitas
Buruh berpenghasilan rendah yang bekerja di bidang pertanian atau konstruksi utamanya yang bekerja di luar ruangan sangat rentan menderita stres karena panas. Akibatnya, mereka cepat menderita kelelahan akibat panas, heat stroke atau sengatan panas, dan terkadang kematian.
Para peneliti juga semakin tertarik untuk melacak hubungan antara tekanan panas dan penurunan produktivitas sebagai bagian dari aksi iklim yang dilihat dari segi ekonomi.
Di Afrika Selatan, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita diperkirakan menurun hingga 20 persen pada tahun 2100 jika pemanasan terjadi pada prediksi garis atas 3,5 derajat Celcius. Studi ini diteliti tahun 2020, ditulis bersama oleh para peneliti di lembaga Euro-Mediterranean Center on Climate Change (CMCC) di Venesia, Italia.
"Sebagian besar dampaknya ditanggung oleh pekerja luar ruangan yang sering kali berketerampilan rendah di bidang pertanian, pertambangan, penggalian, dan konstruksi, " kata rekan penulis Shouro Dasgupta, peneliti dan dosen di CMCC.
Negara-negara di jalur khatulistiwa pada tahun 2100 dperkirakan akan mengalami ratusan hari dengan suhu panas yang "mematikan" per tahunnya
Studi menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja pekerja berketerampilan rendah menurun saat suhu udara melampaui ambang batas 26,2 derajat Celcius. Tanpa memperhitungkan dampak iklim lain seperti kenaikan permukaan laut, banjir, atau kekeringan, perkiraan penurunan produktivitas sebesar 20 persen kemungkinan merupakan perkiraan konservatif.
Sementara sebuah studi global tahun 2019 oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan bahwa stres dipicu panas dalam perubahan iklim dapat menurunkan tingkat produktivitas global. Jumlahnya setara dengan jam kerja dari 80 juta pekerjaan penuh waktu pada tahun 2030.
Ini berarti bahwa sekitar 2,2 persen dari total jam kerja di seluruh dunia dapat hilang karena panas yang ekstrem pada akhir dekade ini. Di negara-negara yang lebih panas di Asia selatan dan Afrika barat di mana banyak terdapat proporsi bagi buruh berpenghasilan rendah, hilangnya jam kerja akibat stres yang dipicu suhu panas bahkan bisa mencapai 5 persen.
"Pada suhu 24-25 derajat, produktivitas dan kecepatan kita mulai melambat," kata Catherine Saget, peneliti di Jenewa yang juga penulis utama laporan ILO tentang bekerja di planet yang lebih hangat.
Pada suhu 35 derajat Celcius, pekerja pertanian atau konstruksi dengan "intensitas fisik kerja yang tinggi" kehilangan produktivitas 30 menit setiap jamnya karena stres akibat panas. Di beberapa lokasi juga diperburuk oleh tingginya kelembaban udara.