REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Studi terbaru mengungkapkan tingkat penularan yang lebih tinggi dari jenis Covid-19 yang pertama kali diidentifikasi di Inggris bisa jadi karena orang menderita sakit lebih lama. Kabar ini menjadi berita buruk dalam upaya penanganan Covid-19 di dunia.
Para peneliti di Universitas Harvard yang melakukan penelitian terhadap jenis virus Inggris menemukan para peserta yang terinfeksi itu sakit selama sekitar lima hari lebih lama daripada mereka yang menderita Covid-19 varian lama. Peserta penelitian terdiri dari pemain bola basket profesional Amerika.
Para peserta penelitian menjalani pengujian ketat - termasuk saat terinfeksi virus. Kondisi ini memungkinkan para peneliti untuk melacak siklus hidup spesifik dari varian lama dan baru. Meskipun temuan ini berasal dari studi yang relatif kecil, jika dikonfirmasi, hal itu dapat berarti pemerintah perlu menambah durasi isolasi diri seseorang setelah terinfeksi.
Dr Jenny Rohn selaku ahli biologi di University College London, mengatakan diperlukan studi yang lebih jauh guna memastikan hasil penelitian Harvard. Tetapi temuan tersebut menurutnya menjelaskan penularan strain Covid-19 Inggris.
"Studi ini juga memiliki implikasi serius untuk masa karantina saat ini selama 10 hari, mengingat varian Kent (Inggris) terbukti bebas pada orang yang terinfeksi selama rata-rata 13 hari," kata Rohn dilansir dari Arab News pada Jumat (19/2).
Studi ini juga dapat memberikan penjelasan mengapa varian Inggris lebih mematikan. Sedangkan Simon Clarke selaku profesor mikrobiologi seluler di Reading University menilai infeksi dengan bentuk virus yang bermutasi tidak lebih parah.
"Bertambahnya waktu aktif (Covid-19) dalam tubuh seseorang memberi kesempatan lebih besar bagi sistem kekebalan untuk bereaksi berlebihan hingga berujung kematian," ujar Clarke.