REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Astronaut Badan Antariksa Amerika (NASA), Buzz Aldrin pernah mendeskripsikan regolith atau selimut endapan yang menutupi batuan padat di Bulan sangat kering dan tandus. Regolith ini menjadi tanda dari kehancuran luar biasa.
Namun, penelitian baru dan tidak disangka bahwa bulan memiliki banyak air yang terkunci di tanah dan bebatuannya. Secara khusus terletak di kutubnya yang tidak bercahaya.
Dua kutub bulan memiliki wilayah gelap permanen. Di sana, pesawat ruang angkasa dan pesawat penjelajah telah mendeteksi sejumlah besar air es. Ini mungkin dapat dimanfaatkan oleh astronaut di bulan untuk mendapatkan air, udara, dan bahan bakar roket yang murah. Terkandung juga H20, jauh di dalam tanah bulan yang berdebu.
Dilansir Syfy, penemuan air di bulan terjadi pada 2008, setelah Chandrayaan-1 di India menggunakan instrumen yang dipinjamkan NASA yang disebut Moon Mineralogical Mapper. Namun, para astrofisika dan ahli geologi planet telah bingung dari mana air itu berasal, mengingat iklim bulan yang kering dan ekstrem.
Teori awal menyimpulkan bahwa itu berasal dari permukaan di dalam asteroid pembawa air atau dari angin matahari yang membombardir Bulan dengan molekul terionisasi yang kemudian membentuk H2O. Namun, dalam makalah penelitian baru yang diterbitkan dalam jurnal daring Astrophysical Journal Letters, tim ilmuwan internasional percaya bahwa kelembapan ekstra mungkin berasal dari magnetosfer Bumi.
Temuan dalam studi memiliki petunjuk parsial dari hipotesis angin matahari, sekaligus memperluas penyebab eksternal dengan menyajikan bukti bahwa kelembapan ini adalah komponen dari sistem pengisian dinamis yang disebabkan oleh Bumi. Proses ini memiliki implikasi penting terkait misi yang akan datang untuk membangun kehidupan manusia di Bulan.