Selasa 05 Jan 2021 14:58 WIB

Obat Kutu Rambut Berpotensi Kurangi Kematian Akibat Covid-19

WHO menugaskan Prof Andrew Hill untuk uji obat kutu rambut bagi Covid-19.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Reiny Dwinanda
Kutu rambut. Obat untuk kutu rambut tampak mengurangi kematian akibat Covid-19 pasien di rumah sakit dalam penelitian yang dipimpin Profesor Andrew Hill dari University of Liverpool.
Foto: ist
Kutu rambut. Obat untuk kutu rambut tampak mengurangi kematian akibat Covid-19 pasien di rumah sakit dalam penelitian yang dipimpin Profesor Andrew Hill dari University of Liverpool.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Obat kutu rambut diklaim dapat mengurangi kematian yang disebabkan oleh virus corona sebanyak 80 persen. Para ilmuwan meyakini bahwa Ivermectin yang harganya hanya sekitar Rp 18 ribu bisa menjadi "senjata penting" dalam perang melawan Covid-19.

Para ahli mengeklaim obat kutu rambut dapat digunakan untuk melawan virus corona. Obat ini bersifat antiparasit dan digunakan untuk mengobati kutu rambut dan kudis serta dapat diminum secara oral atau dengan cara dioleskan pada area kulit yang terinfeksi.

 

Biaya Ivermectin sekitar Rp 30 ribu untuk pengobatan lengkap. Profesor Andrew Hill dari University of Liverpool ditugaskan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengevaluasi obat tersebut.

 

Dalam uji coba, pasien secara acak diberi plasebo atau Ivermectin. Tim mengamati 11 uji coba dengan lebih dari 1.000 pasien dan uji coba terutama dilakukan di negara berkembang. 

 

Pasien yang terlibat dalam uji coba telah memulihkan diri dari Covid-19 setengah dari waktu biasanya yang bagi kebanyakan orang adalah hingga dua pekan. Dari pasien yang memakai Ivermectin, delapan meninggal, sementara 44 yang diberi obat plasebo meninggal.

 

Data juga menemukan bahwa obat tersebut mengurangi kematian hingga 80 persen untuk orang yang dirawat di rumah sakit. Analisis dari uji coba tersebut akan dipublikasikan akhir bulan ini. Hill mengatakan Ivermectin bisa menjadi alat penting dalam menghentikan penyebaran Covid-19 di negara berkembang.

 

Dia mengatakan, temuan itu bisa menjadi sangat penting karena banyak bidang berjuang dengan gelombang kedua.

 

"Ini sangat menarik, karena biayanya antara satu hingga dua dolar AS untuk pengobatan lengkap. Data gabungan mungkin cukup besar untuk mendapatkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia untuk pengobatan yang digunakan di seluruh dunia," kata Hill, dilansir The Sun pada Selasa (5/1).

 

"Jika kita melihat tren yang sama ini secara konsisten di lebih banyak penelitian, maka ini benar-benar akan menjadi pengobatan transformatif," kata Hill.

 

Baca Juga

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement