Sabtu 05 Dec 2020 04:06 WIB

Ilmuwan Temukan Hipotesis Terbentuknya Asteroid di Semesta

Ilmuwan mempelajari meteorit Peekskill untuk mengtahui asal terbentuknya asteroid.

Rep: Puti Almas/ Red: Dwi Murdaningsih
Asteroid/ilustrasi
Foto: EPA
Asteroid/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu malam pada 1992, sebuah meteorit mengakhiri perjalanannya sejauh lebih dari 150 juta mil dengan menabrak bagasi sebuah mobil Chevrolet di Peekskill, New York, Amerika Serikat (AS). Pemilik kendaraan melaporkan adanya sisa-sisa dari ’tabrakan’ tersebut yang masih hangat dan berbau seperti belerang.

Hampir 30 tahun kemudian, muncul analisis baru dari meteorit yang disebut sebagai meteorit Peekskill tersebut. Para peneliti di The University of Texas di Austin dan University of Tennessee, Knoxville telah menghasilkan hipotesis baru tentang bagaimana asteroid terbentuk selama tahun-tahun awal adanya matahari. Meteorit yang dipelajari dalam penelitian berasal dari asteroid dan berfungsi sebagai sampel alami batuan luar angkasa.

Baca Juga

Dari studi tersebut, diketahui bahwa asteroid terbentuk melalui ledakan yang hebat. Ini bertentangan dengan gagasan umum bahwa tata surya di masa lalu adalah tempat yang damai.

Penelitian studi dimulai ketika rekan penulis Nick Dygert dari Jackson School of Geosciences UT yang mempelajari batuan terestrial menggunakan metode untuk mengukur tingkat pendinginan batuan dari suhu yang sangat tinggi, hingga 1.400 derajat Celcius. Ia kemudian menyadari bahwa metode ini, yang disebut sebagai rare earth element atau unsur tanah jarang (REE) dapat digunakan untuk batuan luar angkasa.

“Ini adalah teknik baru yang sangat kuat untuk menggunakan geokimia untuk memahami proses geofisika dan belum ada yang menggunakannya untuk mengukur meteorit,” ujar Dygert, dilansir Phys, Kamis (3/12).

Sejak 1970-an, para ilmuwan telah mengukur mineral dalam meteorit untuk mengetahui bagaimana benda luar angkasa ini terbentuk. Pekerjaan tersebut menunjukkan bahwa meteorit mendingin sangat lambat dari luar ke dalam berlapis-lapis, disebut dengan istilah ‘model cangkang bawang’

Itu konsisten dengan tata surya awal yang relatif damai, di mana bongkahan batu mengorbit tanpa hambatan. Tetapi studi tersebut hanya mampu mengukur laju pendinginan dari suhu yang mendekati sekitar 500 derajat Celcius.

Ketika Dygert dan Michael Lucas dari University of Tennessee yang memimpin penelitian tersebut menerapkan metode REE-in-two-pyroxene, dengan kepekaan yang jauh lebih tinggi terhadap suhu puncak, mereka menemukan hasil yang tidak terduga. Dari sekitar 900 derajat Celcius hingga 500 derajat Celcius, laju pendinginan 1.000 hingga 1 juta kali lebih cepat daripada pada suhu yang lebih rendah.

Para ilmuwan mengatakan asteroid mungkin terbentuk secara bertahap. Jika tata surya awal, diibaratkan seperti permainan arcade, asteroid akan meledak dan batu-batu besar akan hancur berkeping-keping.

Potongan-potongan kecil itu akan mendingin dengan cepat. Setelahnya, ketika potongan-potongan kecil dipasang kembali menjadi asteroid yang lebih besar yang kita lihat sekarang, laju pendinginan akan melambat.

Untuk menguji hipotesis tumpukan puing ini, profesor dari Jackson School of Geosciences  Marc Hesse dan mahasiswa doktoral tahun pertama Jialong Ren membangun model komputasi dari sejarah termal dua tahap dari asteroid tumpukan puing untuk pertama kalinya.

Karena banyaknya potongan di tumpukan puing dan ukurannya yang sangat beragam, Ren harus mengembangkan teknik baru untuk memperhitungkan perubahan massa dan suhu sebelum serta sesudah ledakan.

"Ini merupakan kontribusi yang signifikan secara intelektual," kata Hesse.

Model yang dihasilkan mendukung hipotesis tumpukan puing dan memberikan wawasan lain juga. Salah satu implikasinya adalah bahwa pendinginan sangat melambat setelah dipasang kembali, bukan karena batuan mengeluarkan panas berlapis-lapis. Sebaliknya, tumpukan puing-puing itu mengandung pori-pori.

"Porositas mengurangi seberapa cepat Anda dapat menghantarkan panas. Itu benar-benar mendingin lebih lambat daripada jika tidak terfragmentasi karena semua puing-puing menjadi semacam selimut yang bagus dan itu agak tidak intuitif,” jelas Hesse.

Dygert mengatakan implikasi terbesar dari hipotesis tumpukan puing baru, adalah bahwa tabrakan ini menandai hari-hari awal tata surya.Tim Swindle dari Lunar and Planetary Laboratory di University of Arizona, yang mempelajari meteorit namun tidak terlibat dalam penelitian tersebut, mengatakan bahwa studi ini merupakan langkah maju yang besar. Ini dinilai merupakan model yang lebih lengkap, di mana tim peneliti telah menambahkan data ke bagian pertanyaan yang belum pernah dibicarakan sebelumnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement