REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dalam studi terbaru yang terbit di jurnal The Lancet Infectious Diseases, kandidat vaksin China, CoronaVac diklaim aman. Bahkan, vaksin itu disebut bisa memicu respon antibodi pada sukarelawan sehat berusia 18 hingga 59 tahun.
Dalam penelitiannya, para ilmuan melaporkan hasil uji klinis fase 1 dan 2 itu dengan melibatkan relawan yang tidak memiliki riwayat infeksi Covid-19. Menurut temuan uji klinis acak fase 1/2, kandidat vaksin tersebut bisa memicu respon antibodi dalam 28 hari setelah imunisasi pertama dengan memberi dua dosis dengan selang waktu 14 hari.
Para peneliti, termasuk dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Provinsi Jiangsu di China, juga menemukan dosis optimal untuk menghasilkan respons antibodi tertinggi, dengan memperhitungkan efek samping dan kapasitas produksi.
“Penemuan kami menunjukkan bahwa CoronaVac mampu memicu respons antibodi yang cepat dalam empat pekan setelah imunisasi dengan memberikan dua dosis vaksin pada interval 14 hari,” kata Fengcai Zhu, penulis utama studi tersebut, dari Pusat Provinsi Jiangsu mengutip financial express, Rabu (18/11).
Dia menambahkan, dalam jangka panjang, ketika risiko COVID-19 lebih rendah, temuannya menunjukkan bahwa dengan memberikan dua dosis dengan interval satu bulan, alih-alih interval dua pekan, dimungkinkan lebih tepat untuk mendorong respons kekebalan yang lebih kuat. Dan berpotensi lebih tahan lama.
Lebih lanjut, dalam penelitian itu mereka menambahkan, para relawan juga tidak melakukan perjalanan ke daerah dengan intensitas penyakit yang tinggi. Para relawan, juga tidak memiliki tanda-tanda demam pada saat perekrutan.
Pada tahap pertama, para ilmuwan mengatakan ada 144 sukarelawan sehat terdaftar. Mereka dibagi menjadi dua kelompok untuk menerima salah satu dari dua jadwal vaksinasi. Dua suntikan diberikan selang 14 hari, atau dua suntikan diberikan selang 28 hari.
Dalam setiap kelompok, kata mereka, para peserta secara acak ditugaskan untuk menerima vaksin dosis rendah, dosis tinggi, atau plasebo. Sedangkan di uji coba fase 1, mereka mengatakan insiden efek samping secara keseluruhan serupa pada kelompok dosis rendah dan tinggi pada kedua jadwal vaksinasi, dengan gejala yang paling umum adalah nyeri di tempat suntikan.
Namun demikian, para peneliti tak menampik ada satu kasus reaksi alergi parah dalam waktu 48 jam setelah menerima dosis pertama. Berdasarkan informasi, hal itu dimungkinkan terkait dengan vaksinasi. Namun, mereka mengatakan peserta dirawat dan pulih dalam tiga hari, dan tidak mengalami reaksi serupa setelah dosis kedua.
Studi tersebut mencatat, fase 2 uji coba dimulai ketika semua peserta dalam fase 1 telah menyelesaikan periode observasi 7 hari setelah dosis pertama mereka.
Dalam fase ini, para ilmuwan mengatakan ada 600 sukarelawan sehat terdaftar dalam penelitian. Layaknya di fase pertama, fase ini juga memisahkan relawan menjadi dua kelompok untuk jadwal vaksinasi 14 hari dan 28 hari, dan kemudian secara acak ditugaskan untuk menerima vaksin dosis rendah, dosis tinggi atau plasebo.
“CoronaVac adalah salah satu dari banyak kandidat vaksin COVID-19 yang sedang dieksplorasi secara paralel. Ada banyak teknologi vaksin berbeda yang sedang diselidiki, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya sendiri,” kata Gang Zeng, rekan penulis studi lainnya dari Sinovac Biotech, sebuah perusahaan biofarmasi yang berbasis di China.
Menurutnya, CoronaVac bisa menjadi pilihan menarik lainnya. Mengingat, vaksin bisa disimpan di lemari es standar antara 2 hingga 8 derajat celcius. ‘’Suhu yang khas untuk banyak vaksin yang ada termasuk flu. Vaksin mungkin juga tetap stabil hingga tiga tahun dalam penyimpanan,” kata Zeng.