Selasa 17 Nov 2020 00:56 WIB

Hati-Hati Daging Sapi dan Jagung Bisa Merusak Alam

Kontribusi pertanian terhadap total emisi gas rumah kaca sebesar 14,5 persen.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Gita Amanda
Sapi
Foto: ist
Sapi

REPUBLIKA.CO.ID, CALIFORNIA -- Emisi dari sistem pangan di seluruh dunia menghentikan usaha mencapai target utama perubahan iklim pada suhu yang lebih rendah. Perkiraan konservatif oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan kontribusi pertanian terhadap total emisi gas rumah kaca sebesar 14,5 persen.

Beberapa ahli memperingatkan, angka tersebut terlalu rendah. Mereka memperkirakan pertanian menyumbang lebih dari 37 persen emisi gas rumah kaca, bercampur dengan sektor terbesar yang menyumbang emisi, seperti energi, industri dan transportasi.

Dari sekian kompleksitas yang ada, penting untuk diperhatikan bahwa bukan makanannya yang merusak lingkungan dan iklim, namun praktik bertani. Berbagai penerapan pertanian global, mulai dari cara menangani pupuk hingga kurangnya keanekaragaman hayati berdampak negatif pada iklim. Semua praktik ini dinilai saling berhubungan.

Koordinator Akademik Program Penelitian dan Pendidikan Pertanian Berkelanjutan Universitas California, Sonja Brodt, menyebut salah satu fokus programnya adalah ketahanan iklim. Ia ingin membantu orang-orang yang memproduksi makanan meningkatkan dampak lingkungan mereka.

Brodt menilai, secara umum ada dua sisi berbeda dari dampak pertanian terhadap perubahan iklim. “Ada sisi emisi yang sebagian berasal dari penggunaan bahan bakar fosil dan sebagian lagi dari hal-hal seperti emisi nitrogen oksida dan metana,” katanya dilansir di Mashable, Senin (16/11).

Ia menyebut pihak lain melihat tanah secara global sebagai sumber daya utama. Saat ini, banyak tanah pertanian yang merupakan penghasil bersih karbon dioksida.

Melihat kedua sisi dan mempertimbangkan titik temu dari begitu banyak metode, sejumlah besar kerusakan yang ditimbulkan pada planet melalui pertanian berakar pada nafsu makan yang tampaknya tak pernah terpuaskan. Salah satunya pemanfaatan daging sapi.

PBB memperkirakan peternakan dan kotorannya menyumbang sekitar 63 persen dari emisi gas rumah kaca pertanian. Sebagian besar persentase ini berasal dari gas yang dihasilkan sapi selama proses pencernaan.

Pada dasarnya, hewan ternak ini mengeluarkan metana. Masalah lainnya bermuara pada pupuk kandang dan bagaimana hal itu dikelola.

Sebuah peternakan, jika menangani kotorannya dengan cara berkelanjutan, mengembalikan ke bumi dalam jumlah kecil, serta dan menyimpan atau mendistribusikan kelebihannya dengan benar, secara drastis dapat mengurangi jumlah nitrogen yang merembes ke atmosfer. Nitrogen berlebih yang tidak digunakan oleh tanaman dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk nitrous oksida, gas ini 300 kali lebih kuat daripada karbon dioksida.

Pada skala yang lebih besar, pengelolaan pupuk kandang yang berkelanjutan tidak dapat dipertahankan. Pabrik peternakan besar-besaran fokus pada produksi daging sapi, dengan mengelola ratusan atau bahkan ribuan ekor sapi. Mereka menghasilkan kotoran dalam jumlah yang tidak masuk akal, belum lagi metana yang mereka semburkan ke udara.

Untuk memberi ruang bagi padang rumput untuk konsumsi sapi, hutan ditebang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Ekosistem yang membantu menyerap karbon dari atmosfer dikurangi 50.000 hektar sehari, yang sebagian besar digunakan untuk ternak.

Direktur dan ilmuwan senior di Program Pangan dan Lingkungan Persatuan Ilmuwan Peduli, Ricardo Salvador, mengatakan mengurangi konsumsi dan produksi daging dapat membantu membendung dampak negatif pertanian terhadap iklim. "Jika kita bisa melepaskan diri dari vektor ini, di mana kita pikir setiap orang berhak untuk makan hamburger sebanyak yang mereka inginkan, itu akan sangat membantu," katanya.

Kehadiran sapi tidak secara langsung merusak planet ini. Sapi tidak terlalu menjadi masalah sampai mereka mulai dibiakkan dalam jumlah besar untuk konsumsi daging sapi.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah tanaman seperti jagung, kedelai dan gandum yang sering kali ditanam secara tunggal. Lebih dari sepertiga lahan pertanian di seluruh dunia digunakan secara eksklusif untuk menghasilkan tanaman untuk ternak dan biofuel, dan sebagian besar ditanam dengan sistem pertanian tunggal.

Tanaman baris berarti mereka adalah satu-satunya tanaman yang ditanam di lahan tersebut dari tahun ke tahun. Tanaman tunggal dapat merusak lahan yang dulunya merupakan tanah sehat dengan menyedot nutrisi dan mengurangi bahan organik keanekaragaman hayati yang tersedia untuk organisme di dalam tanah.

Tanah yang tidak diberi makan dengan baik dengan berbagai bahan organik akan kehilangan jamur, mikroba, maupun bakteri yang mengolahnya dan memberinya makan kembali menjadi tumbuh-tumbuhan. Saat ekosistem rusak, ia kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan kehidupan dan menahan air.

Tanah yang kurang makan dan terlalu banyak digunakan akan mulai terkikis. Di musim kemarau, tanah ini berubah menjadi debu. Sementara saat hujan lebat atau banjir, ia tersapu, mengotori selokan di lahan pertanian.

Saat ini, banyak petani monokrop yang memberikan nutrisi kembali ke tanah dengan pupuk sintetis. Penyebaran pupuk sintetis itu cepat dan mudah, tetapi produksinya menghabiskan banyak bahan bakar fosil.

"Pupuk nitrogen sintetis memiliki jejak karbon yang sangat tinggi dalam pembuatannya. Saat hal ini ditaruh di tanah, ia dapat melepaskan emisi nitrous oksida," kata Brodt. Rencana ini dinilai sebagai pukulan ganda dari emisi gas rumah kaca. Sayangnya, nitrogen adalah bagian penting dari pertanian. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement