Senin 16 Nov 2020 18:04 WIB

Ilmuwan Temukan Terobosan untuk Terapi Covid-19

Gen yang mengontrol interferon mungkin menjadi kunci terapi penyembuhan covid-19.

Rep: Puti Almas/ Red: Dwi Murdaningsih
Ilustrasi Covid-19
Foto: Pixabay
Ilustrasi Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vaksin mungkin akan menjadi solusi kecil terhadap virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan infeksi penyakit COVID-19 dan menjadi pandemi dunia saat ini. Dunia masih membutuhkan terapi yang efektif untuk mengurangi risiko kematian akibat COVID-19.

Dalam penelitian terbaru yang dilakukan, terdapat penemuan untuk terobosan yang memungkinkan para dokter mencegah lebih banyak kematian karena penyakit wabah ini.

Baca Juga

Sebelumnya, pada Mei para dokter mengatakan bahwa virus corona jenis baru memblokir produksi interferon lokal dan menunda respons kekebalan. Hal Ini memungkinkan virus untuk bereplikasi dan menginfeksi lebih banyak sel yang tidak terkendali.

Banyak tim peneliti telah memulai uji coba berbasis interferon dengan berpikir bahwa mengobati COVID-19 dengan interferon dapat mencegah penyakit yang parah. Namun, studi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) gagal menunjukkan bahwa interferon dapat mencegah kematian.

Untuk diketahui, interferon adalah protein alami yang diproduksi tubuh sebagai respon tubuh dalam melawan senyawa berbahaya. Beberapa perkembangan studi kemudian memungkinkan dokter untuk menyempurnakan terapi interferon dan mengujinya lebih lanjut.

Pada akhir September, beberapa penelitian menggambarkan fenomena kunci terkait interferon yang dapat meningkatkan risiko kematian pada pasien COVID-19, termasuk pria yang lebih muda.

Masalah genetik yang memengaruhi interferon tidak terdeteksi, hingga diagnosis COVID-19 dapat memperburuk prognosis. Studi tersebut menunjukkan bahwa mencari ketidakseimbangan interferon yang tersembunyi akan memungkinkan dokter untuk menentukan pasien COVID-19 mana yang berisiko mengalami komplikasi parah.

Autoantibodi interferon

Tim peneliti internasional menerbitkan studi di Science yang mengatakan 10 persen dari 987 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 parah memiliki antibodi yang menonaktifkan interferon. Ini dikenal sebagai autoantibodi dan dapat muncul pada penyakit autoimun atau kondisi medis di mana tubuh menyerang dirinya sendiri.

Dari pasien yang memiliki autoantibodi, sebanyak 94 persen diantaranya adalah laki-laki. Studi tersebut dilakukan oleh COVID Human Genetic Effort, yang mencakup 200 pusat penelitian di 40 negara. Cakupannya jauh lebih besar daripada studi pada September.

Autoantibodi interferon tidak ada pada sekelompok 663 pasien COVID-19 asimtomatik atau tanpa gejala. Para peneliti mengatakan bahwa hanya empat dari 1.227 orang sehat dalam kelompok kontrol yang memiliki autoantibodi yang sama.

Jika data akurat, dokter yang merawat pasien COVID-19 mungkin akan segera mulai menguji autoantibodi interferon untuk mendeteksi potensi kasus yang parah sedini mungkin. Orang-orang dengan autoantibodi terhadap interferon selalu memilikinya. Tidak jelas mengapa penyakit menular lainnya seperti flu tidak mengungkap masalah terkait interferon di masa lalu.

“Ini adalah salah satu hal terpenting yang kami pelajari tentang sistem kekebalan sejak dimulainya pandemi COVID-19,” ujar wakil kepala Scripps Research Eric Topol yang tidak terlibat dalam studi tersebut, dilansir BGR, Senin (16/11).

Itu bukan satu-satunya masalah interferon yang diidentifikasi oleh COVID Human Genetic Effort. Tim juga menulis studi kedua yang mengatakan 3,5 persen dari pasien dalam kondisi sakit kritis mengalami mutasi pada gen yang mengontrol interferon.

Tubuh memiliki 500 hingga 600 gen seperti itu. Qian Zhang yang merupakan penulis utama studi kedua mengatakan bahwa mereka dapat mengidentifikasi lebih banyak mutasi.

Penemuan ini juga dapat menjelaskan mengapa pria dari segala usia mungkin lebih terpengaruh oleh masalah interferon daripada perempuan.

Ahli virologi Angela Rasmussen mengatakan interferon seperti alarm kebakaran.  Jika virus dapat menekan aktivitas interferon, maka orang yang mungkin menderita kondisi interferon genetik mungkin memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit parah.

"Tubuh Anda seharusnya memiliki alarm yang berdering di mana-mana ketika virus corona tiba, Jika tidak demikian, maka Anda bisa terkena virus di mana-mana dalam jumlah besar,”  jelas Zhang.

Skrining untuk autoantibodi interferon mungkin menjadi norma pengelolaan COVID-19 saat ini. Namun, para ilmuwan akan membutuhkan lebih banyak data.

NBC melaporkan ada lebih dari 100 uji klinis yang melibatkan interferon dan virus corona jenis baru. Terapi berbasis interferon baru mungkin akan dilakukan berdasarkan hasil uji coba yang tengah dilakukan.

Sejumlah dokter di Inggris baru saja menerbitkan sebuah penelitian di The Lancet yang mengatakan bahwa versi interferon beta-1a yang dihirup bermanfaat bagi pasien COVID-19. Orang yang ditugaskan secara acak yang menerima obat itu dua kali lebih mungkin untuk pulih sepenuhnya. Inilah obat menjanjikan SNG001 dari Synairgen yang pertama kali diumumkan pada pertengahan Juli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement