Senin 09 Nov 2020 20:44 WIB

Kerusakan Hutan Berkaitan Erat dengan Pandemi, Kok Bisa?

Pandemi yang disebabkan oleh zoonosis erat kaitannya dengan kerusakan hutan.

Panorama tutupan hutan Gunung Kerinci (3805 mdpl) yang sebagian kawasannya telah beralih fungsi menjadi perkebunan terlihat dari Kayu Aro, Kerinci, Jambi, Sabtu (1/8/2020). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI mengatakan Indonesia terus mengupayakan percepatan pemulihan hutan dan lahan di tanah air agar deforestasi tidak melebihi laju rehabilitasi pada 2030.
Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Panorama tutupan hutan Gunung Kerinci (3805 mdpl) yang sebagian kawasannya telah beralih fungsi menjadi perkebunan terlihat dari Kayu Aro, Kerinci, Jambi, Sabtu (1/8/2020). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI mengatakan Indonesia terus mengupayakan percepatan pemulihan hutan dan lahan di tanah air agar deforestasi tidak melebihi laju rehabilitasi pada 2030.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi, terutama yang disebabkan oleh zoonosis, berkaitan erat dengan kerusakan hutan. Selain SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid19, ada beberapa penyakit pada binatang yang dapat ditularkan ke manusia, seperti Zika yang terjadi di Brasil, Ebola dan HIV yang merebak di Afrika, SARS yang merebak di China.

Ilmuwan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof Jatna Supriatna mengatakan bahwa deforestasi itu nyata dan tidak hanya terjadi di luar negeri, tetapi juga di Indonesia. Contohnya di Kalimantan, hanya di bagian tengah saja yang kondisi hutannya masih baik.

Baca Juga

"Di Papua, setidaknya 75 persen hutannya masih baik," kata Prof Jatna dalam diskusi publik "Pandemi itu Nyata, Begitu Pula Krisis Iklim" yang diadakan AIPI bersama The Conversation Indonesia diakses di Jakarta, Senin.

Jatna mengatakan, kerusakan hutan dan deforestasi menyebabkan manusia dan satwa liar menjadi dekat. Saat hidup manusia hanya bergantung pada berburu dan bertani, kondisi hutan masih cukup baik. Begitu pertambangan, logging, deforestasi, pertambahan populasi, urbanisasi, pembangunan jalan, produksi pangan, dan perubahan iklim terjadi, manusia menjadi semakin berdekatan dengan satwa liar.

"Manusia menjadi semakin mudah menangkap dan menjualbelikan satwa liar," kata juga ahli zoologi dan biologi konservasi Indonesia itu.

Jatna menjelaskan, ada sekitar 7,5 miliar penduduk dunia yang hidup terkonsterasi di negara-negara pemilik hutan, seperti Brasil, Indonesia, China. Urbanisasi terjadi besar-besaran telah menyebabkan hutan semakin berkurang.

Hal tersebut menjadi salah satu penyebab manusia hidup semakin berdekatan dengan satwa liar. Jatna menyebut, karnivora menjadi semakin berkurang, bahkan hilang.

"Sehingga satwa liar lainnya seperti kelelawar, babi, tikus, dan seterusnya cepat berbiak, dan itu justru yang bawa virus," kata  dosen MIPA Universitas Indonesia itu.

Manfaat keanekaragaman hayati

Jatna menegaskan jika kondisi keanekaragaman hayati yang baik akan mengurangi risiko penyakit menular pada ekologi komunitas. Keanekaragaman hayati dapat memberikan dillution effect, menjadi penghalang transmisi penyakit dengan cara pengurangan densitas populasi dari reservoir alami untuk patogen, pengurangan densitas populasi Arthropoda sebagai vektor patogen, serta pengurangan pertemuan antara vektor dan reservoir atau di antara reservoir.

"Di Indonesia sudah warning seharusnya, karena perdagangan satwa liar belum disetop, wet market masih ada. Itu berbahaya sekali. Di China sudah pada ditutup," ujar dia.

Akhirnya, virus dari satwa liar yang mengalami domestikasi masuk ke manusia. Jatna pun menyerukan agar masyarakat tak memelihara satwa liar.

"Karenanya sering terjadi loncatan (virus) ke manusia," kata Jatna.

Riset dilakukan di sejumlah pasar hewan seperti di Medan, Pasar Burung Pramuka di Jakarta, Pasar 45 di Manado, dan beberapa tempat lainnya. Rata-rata memang satwa liar dikonsumsi sendiri atau dikirim ke China dan itu berbahaya karena bisa terjadi zoonosis.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement