REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh tim dari Brigham and Women's Hospital memeriksa sampel darah dan sel dari pasien yang telah pulih dari infeksi virus corona jenis baru (Covid-19) yang ringan hingga sedang. Dari sana, para peneliti menemukan bahwa saat antibodi terhadap virus menurun pada kebanyakan orang setelah sembuh dari penyakit, sebagian pasien memproduksi antibodi anti-virus yang berkelanjutan beberapa bulan setelah infeksi.
Dalam penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Cell ini, pasien yang sembuh dari Covid-19 lebih cepat memiliki antibodi yang berkelanjutan. Mereka lebih cepat meningkatkan respons kekebalan yang lebih efektif dan tahan lama terhadap virus corona jenis baru penyebab Covid-19, yakni SARS-CoV-2.
Duane Wesemann, seorang ahli imunologi dan dokter rekanan di Divisi Alergi dan Imunologi Klinis Brigham, mengatakan bahwa ia telah menemukan sekelompok individu yang sembuh Covid-19 dengan cepat sambil mempertahankan tingkat antibodi spesifik virus.
“Jenis respons kekebalan yang kami lihat pada orang-orang ini mirip seperti berinvestasi dalam polis asuransi. Ini cara sistem kekebalan untuk menambahkan lapisan perlindungan potensial terhadap pertemuan dengan virus di masa depan,” ujar Wesemann, dilansir Times Now News, Kamis (5/11).
Tim peneliti mempelajari seluruh rangkaian antibodi yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh dan bagaimana mereka belajar mengenali patogen. Pada Maret lalu, tim tersebut mengalihkan perhatiannya pada pandemi Covid-19 dan respons kekebalan orang yang terinfeksi. Mereka sangat ingin memahami sifat respons antibodi terhadap virus.
Tim kemudian merekrut dan mendaftarkan 92 orang di Boston, Amerika Serikat (AS) yang telah pulih dari Covid-19 antara Maret hingga Juni. Lima di antaranya dirawat di rumah sakit, sementara sisanya pulih di rumah.
Dari sana, mereka mengumpulkan dan menganalisis sampel darah partisipan setiap bulan, mengukur berbagai antibodi, termasuk imunoglobulin-G (IgG), melawan SARS-CoV-2. Tim peneliti kemudian membagi parisipan dalam dua kelompok, yaitu pertama kelompok mempertahankan tingkat IgG spesifik virus selama beberapa pekan dan kelompok yang kehilangan IgG.
Peneliti lalu menganalisis kelompok-kelompok ini dan kemungkinan hubungan yang mereka miliki dengan data klinis dan data imunologi lainnya. Tim peneliti menemukan bahwa tingkat IgG terhadap virus cenderung menurun secara substansial pada kebanyakan orang, selama tiga sampai empat bulan. Namun, pada sekitar 20 persen individu, produksi antibodi tetap stabil atau meningkat selama periode waktu yang sama.
Dari sana juga diketahui bahwa orang yang mampu mempertahankan level antibodi hanya sebentar diusik Covid-19. Mereka rata-rata sembuh dalam 10 hari, sementara lainnya 16 hari.
Mereka juga memiliki perbedaan dalam populasi sel T memori dan sel B, dua jenis sel kekebalan yang dapat memainkan peran kunci dalam memori dan perlindungan kekebalan. Tim mencatat batasan penting dari penelitian ini adalah bahwa sebagian besar relawan adalah perempuan Amerika kulit putih usia dewasa.
Para peneliti mengatakan bahwa penelitian di masa depan harus bertujuan untuk mendaftarkan populasi yang lebih beragam untuk lebih menjelaskan apakah variasi dalam respons imun ada di antara orang-orang dari berbagai usia dan latar belakang etnis dan ras. Para peneliti juga menunjukkan bahwa penelitian lebih lanjut dapat membantu menentukan apakah dinamika serupa dari respons kekebalan juga terlihat pada orang dengan penyakit asimptomatik dan parah.
Wasemann mengatakan, data menunjukkan jenis respons kekebalan tidak hanya mahir dalam menangani penyakit virus dengan menghasilkan resolusi gejala yang cepat. Tetapi, ini juga lebih baik dalam memproduksi sel yang dapat berkomitmen untuk produksi antibodi IgG anti-virus jangka panjang.
"Mencari tahu bagaimana orang-orang ini dapat mendukung produksi antibodi jangka panjang relevan dengan Covid-19, dan juga akan memiliki implikasi penting bagi pemahaman kita tentang sistem kekebalan secara umum," jelas Wesemann.