Kamis 05 Nov 2020 11:26 WIB

Dosen UI Buat Termometer Otomatis dengan Sensor Jarak

Termometer otomatis tersebut dilengkapi dengan sensor jarak

Termometer inframerah. ilustrasi
Foto: Flickr
Termometer inframerah. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia Tomy Abuzairi mengembangkan termometer otomatis. Termometer otomatis ini bermanfaat untuk melakukan screening COVID-19.

"Pada era normal baru, merupakan hal yang lumrah dilakukan pemeriksaan suhu. Pada umumnya menggunakan termometer gun atau handheld, yang mana membutuhkan seorang operator untuk mengoperasikannya," ujar Tomy dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (5/11).

Baca Juga

Menurut penelitian, termometer yang membutuhkan operator tersebut biasanya kurang optimal. Sebab, hasil pengukuran tergantung subjektivitas dari operator. Selain itu, jarak yang dekat dengan operator termometer juga menyebabkan operator rentan tertular COVID-19 dari pengunjung.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Tomy membuat terobosan dengan menciptakan termometer otomatis tanpa memerlukan bantuan operator.

Termometer otomatis tersebut dilengkapi dengan sensor jarak, sehingga ketika jarak orang yang ingin diukur suhunya sudah dekat, maka sensor suhu akan mulai mengukurnya.

Termometer itu dilengkapi dengan LED hijau dan merah untuk memberi tahu suhu tubuh. Jika suhu tubuh normal maka LED hijau menyala. Jika suhu tubuh tinggi maka LED merah dan alarm menyala selama lima detik.

Tomy menambahkan selain dapat mendeteksi otomatis, alat itu juga didesain supaya memiliki harga yang terjangkau. "Untuk pembuatan purwarupa alat ini, dibutuhkan biaya sekitar Rp 500.000," ucap dia.

Termometer tersebut saat ini baru diimplementasikan di tempat-tempat percontohan dan dipantau fungsionalitasnya. Termometer tersebut dapat beroperasi selama dua hari tanpa perlu baterainya diisi ulang.

Termometer tersebut didukung program Hibah Iptek bagi Masyarakat (IbM) 2020 dari Direktorat Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat Universitas Indonesia.

"Untuk kekurangannya, masih dari sisi casing yang mana masih menggunakan 3D printer, dan membuat harganya menjadi lebih mahal. Jika sudah diuji fungsionalitasnya dan terbukti baik maka ke depannya casing bisa diproduksi massal, sehingga harganya lebih murah," imbuh dia.

sumber : antara
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement