REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Penelitian oleh spesialis kesehatan Singapura menunjukkan bukti orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 asimptomatik (orang tanpa gejala, OTG) dapat menyebarkan virus secara tidak sengaja. Apalagi, data menunjukkan banyak orang yang kena Covid-19 tidak mengalami gejala apa pun tapi tetap mampu menularkan virus.
Dilansir Health 24 pada Selasa (3/11), peneliti bertanya-tanya mengapa hal ini bisa terjadi. Menurut sebuah studi baru, jawabannya mungkin terletak pada kemampuan virus untuk mencegah genomnya dikenali. Orang yang terinfeksi Covid-19 mengalami penyakit ringan hingga berat atau bahkan kematian, namun ada juga yang tidak menunjukkan gejala sama sekali.
Sebuah studi baru-baru ini, yang diterbitkan di PLOS Medicine, memperkirakan 20 persen infeksi SARS-CoV-2 tidak menunjukkan gejala, tetapi tetap menular. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana ini bisa terjadi?
Menurut penelitian baru oleh universitas riset Aarhus University dan Aarhus University Hospital di Denmark, virus memiliki kemampuan untuk mencegah genomnya (materi genetiknya) dikenali. Penemuan ini dipublikasikan di EMBO Reports.
Di lain sisi, mereka yang telah sembuh dari Covid-19 tidak langsung memperoleh kekebalan. Para ilmuwan menemukan bahwa kekebalan virus corona hanya dapat bertahan beberapa bulan. Penelitian sebelumnya juga mengungkapkan penurunan antibodi pelindung.
Penelitian oleh Imperial College London memperkirakan hanya 4,4 persen orang dewasa yang memiliki kekebalan terhadap Covid-19. Untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang fenomena tersebut, para peneliti melihat sel kekebalan khusus, yang disebut makrofag alveolar (AM), yang ditemukan di paru.
Mereka membentuk pertahanan penting melawan patogen di paru. Menurut artikel penelitian yang diterbitkan dalam American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, AM membersihkan ruang udara dari partikel infeksius yang menghindari pertahanan mekanis saluran pernapasan, seperti saluran hidung.
Para peneliti menjelaskan karena paru-paru mengandung sejumlah besar sel kekebalan ini, kemungkinan besar mereka adalah jenis sel pertama yang ditemui virus. Menggali lebih dalam, tim kemudian melihat interferon, yakni sekelompok sitokin yang penting dalam melawan virus. Ketika tubuh mengenali infeksi virus, sistem kekebalan memulai produksi interferon.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa AM menghasilkan interferon dalam jumlah besar setelah terinfeksi virus pernapasan, seperti influenza. Menurut rilis oleh Aarhus University, penelitian baru juga menunjukkan produksi interferon dalam sel epitel yang terinfeksi dapat dihambat oleh virus korona baru, yang biasanya menginfeksi lapisan epitel, lapisan sel terluar paru-paru.
Namun para peneliti mengatakan bahwa lebih banyak penelitian diperlukan untuk memahami bagaimana virus dapat menghindari dikenali oleh sistem kekebalan tubuh. Mekanisme pertahanan tubuh juga perlu dikaji lebih dalam.