REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gumpalan atau pembekuan darah terus mendatangkan malapetaka bagi pasien infeksi virus corona jenis baru (COVID-19) yang mengalami gejala parah. Sebuah studi baru menjelaskan apa yang dapat memicu kondisi tersebut.
Antibodi autoimun yang beredar di dalam darah, menyerang sel dan memicu pembekuan di arteri, vena, dan pembuluh mikroskopis. Penggumpalan darah dapat menyebabkan kejadian yang mengancam jiwa seperti stroke.
Pada COVID-19, pembekuan mikroskopis dapat membatasi aliran darah di paru-paru yang mengganggu pertukaran oksigen. Di luar infeksi virus corona jenis baru, antibodi penyebab gumpalan ini biasanya terlihat pada pasien yang menderita sindrom antifosfolipid (gangguan yang menyebabkan darah mudah membeku) penyakit autoimun.
Yogen Kanthi, asisten profesor di Michigan Medicine Frankel Cardiovascular Center dan Lasker Investigator di National Institutes of Health's National Heart, Lung, and Blood Institute mengatakan hubungan antara autoantibodi dan COVID-19 tidak terduga. Pasien pasien, terlihat siklus peradangan dan pembekuan darah yang terus-menerus tanpa henti di dalam tubuh.
“Sekarang kami belajar bahwa autoantibodi bisa menjadi penyebab lingkaran pembekuan dan pembengkakan ini yang membuat orang yang sudah berjuang menjadi lebih sakit,” ujar Kanthi, dilansir News-Medical, Selama (3/11).
Rekan penulis studi, Jason Knight yang merupakan ahli reumatologi di Michigan Medicine, telah mempelajari antibodi sindrom antifosfolipid pada populasi umum selama bertahun-tahun. Ia mengatakan separuh dari pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 ternyata positif setidaknya salah satu autoantibodi, yang cukup mengejutkan.
Dalam publikasi Science Translational Medicine yang baru, mereka menemukan sekitar setengah dari pasien yang sangat sakit dengan COVID-19 menunjukkan kombinasi antibodi berbahaya dan neutrofil super aktif tingkat tinggi, yang merusak sel darah putih. Pada April, tim tersebut adalah yang pertama melaporkan bahwa pasien yang dirawat di rumah sakit karena COVID-19 parah memiliki tingkat perangkap ekstraseluler neutrofil yang lebih tinggi dalam darah mereka.
Untuk mempelajari lebih lanjut, mereka mempelajari neutrofil eksplosif dan antibodi COVID-19 bersama-sama dalam model tikus untuk melihat apakah ini bisa menjadi kombinasi berbahaya di balik gumpalan. Kanthi mengatakan antibodi dari pasien COVID-19 aktif menciptakan pembekuan yang mencolok pada hewan, dimana itu menjadi yang terburuk.
“Kami telah menemukan mekanisme baru di mana pasien COVID-19 dapat mengembangkan pembekuan darah,” kata Kanthi.
Para peneliti mengatakan temuan ini belum siap untuk praktik klinis, namun ini adalah perspektif baru pada penelitian trombosis dan peradangan yang kuat pada pasien dengan COVID-19. Kanthi, Knight, dan rekan peneliti lebih lanjut ingin mengetahui apakah pasien yang sakit parah dengan tingkat antibodi yang tinggi akan mendapatkan hasil yang lebih baik jika antibodi diblokir atau dihilangkan.
Jika demikian, itu mungkin memerlukan pengobatan agresif seperti plasmaferesis, yang biasanya digunakan pada penyakit autoimun yang parah. Ini melibatkan pengurasan darah melalui infus, menyaringnya dan menggantinya dengan plasma segar yang tidak mengandung antibodi yang terkait dengan pembekuan darah.
Selain itu, temuan ini memunculkan pertanyaan baru seputar penggunaan plasma pemulihan sebagai kemungkinan pengobatan COVID-19. Namun, tim mengatakan diperlukan lebih banyak penelitian untuk memeriksa masalah ini.
Para peneliti saat ini juga menjalankan uji klinis acak yang disebut DICER, yang menguji agen anti-pembekuan dipyridamole, pada pasien dengan COVID-19 untuk menentukan apakah itu lebih efektif daripada plasebo dalam mengurangi pembekuan darah yang berlebihan.