REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puluhan ilmuwan dari seluruh dunia memperingatkan ada bahaya di balik pendekatan herd immunity (kekebalan kelompok). Langkah itu dipromosikan kelompok ilmuwan lain untuk menahan penyebaran virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan penyakit Covid-19.
Dalam jurnal medis The Lancet yang diterbitkan pada Rabu (14/10), para ilmuwan menjelaskan bahwa kekebalan kelompok, yang terjadi ketika cukup banyak orang menjadi kebal terhadap penyakit menular untuk membuat penyebaran lebih tidak mungkin, adalah sebuah kekeliruan berbahaya. Tak ada bukti ilmiah yang mendukung potensi dari herd immunity tersebut.
Dalam surat yang ditandatangani oleh 80 peneliti dari bidang kesehatan masyarakat, epidemiologi, virologi, penyakit menular, dan lainnya, mengandalkan kekebalan di antara orang-orang yang telah pulih dari Covid-19 adalah strategi yang salah. Ditegaskan bahwa tidak ada bukti kekebalan pelindung yang bertahan lama terhadap SARS-CoV-2 setelah infeksi alami.
“Konsekuensi dari penurunan kekebalan akan menghadirkan risiko bagi populasi yang rentan untuk masa depan yang tidak terbatas,” ujar pernyataan para ilmuwan, dilansir NBC, Kamis (15/10).
Pejabat senior Gedung Putih Amerika Serikat (AS) mengatakan seorang pejabat menyoroti gerakan daring yang disebut “Great Barrington Declaration,” yang mendukung herd immunity. Mereka yang mendukung deklarasi ini ingin agar negara-negara di seluruh dunia tidak perlu lagi menerapkan aturan pembatasan seperti lockdown (karantina wilayah).
Deklarasi tersebut, menurut seorang pejabat pemerintahan AS, berarti bahwa menangani pandemi Covid-19 adalah sesuatu yang berpusat pada perlindungan agresif terhadap mereka yang rentan. Dengan demikian, pembukaan semua sekolah, bisnis dan berbagai kegiatan masyarakat, serta mengakhiri lockdown yang berkepanjangan harus dilakukan.
“Tujuan dari pembatasan adalah untuk secara efektif menekan infeksi SARS-CoV-2 ke tingkat rendah yang memungkinkan deteksi cepat wabah lokal dan respons cepat melalui sistem pencarian, pengujian, penelusuran, isolasi, dan dukungan yang efisien dan komprehensif sehingga kehidupan dapat kembali dekat dengan normal tanpa perlu pembatasan umum,” jelas para ilmuwan dalam surat di jurnal medis tersebut.
Sementara itu, orang-orang lainnya yang ahli dalam penyakit menular mengatakan, setidaknya 60 persen populasi harus terpapar virus untuk mencapai kekebalan komunitas. Indikasinya, sejauh ini hanya 10 persen dari populasi dunia yang terinfeksi virus corona jenis baru.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pada Senin bahwa strategi kekebalan komunitas bermasalah secara ilmiah dan etika. Ia menuturkan bahwa dalam sejarah kesehatan masyarakat, herd immunity tidak pernah digunakan sebagai strategi untuk menanggapi wabah, apalagi pandemi.
Tedros mengatakan, para ilmuwan belum sepenuhnya memahami seberapa kuat kekebalan Covid-19 atau berapa lama itu bertahan setelah infeksi. Ia juga mengutip laporan langka infeksi ulang Covid-19.
"Membiarkan virus bersirkulasi tanpa terkendali berarti membiarkan infeksi, penderitaan dan kematian yang tidak perlu," kata Tedros.
Bulan lalu, Anthony Fauci, dokter spesialis penyakit menular AS, berdebat tentang masalah kekebalan komunitas dalam dengar pendapat Komite Senat tentang Kesehatan, Pendidikan, Tenaga Kerja, dan Pensiun. Kemudian ada Senator Rand Paul menyarankan bahwa orang memiliki kekebalan reaktif silang yang sudah ada sebelumnya terhadap virus corona jenis baru, yang berarti bahwa karena kebanyakan dari warga AS telah terpapar virus corona lain, seperti yang menyebabkan flu biasa.
"Sistem kekebalan kita mungkin sudah dilatih untuk mengenali SARS-CoV-2," ujar Paul.
Sementara beberapa penelitian mendukung teori tersebut, penelitian lain tidak menemukan bukti kekebalan yang sudah ada sebelumnya dari virus corona lain. Memang, jika manusia memiliki tingkat kekebalan yang rendah sekalipun terhadap SARS-CoV-2, pandemi mungkin tidak ada.