REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Queen Mary University of London memulai studi tentang hubungan potensial antara vitamin D dan perlindungan terhadap virus corona. Uji coba yang disebut Coronavit akan melibatkan akademisi lintas departemen yang berusaha menjawab apakah peningkatan kadar vitamin D dapat menurunkan risiko gangguan infeksi pernapasan musim dingin, termasuk virus corona.
Proyek yang didanai oleh Barts Charity yang merupakan penghimpun dana rumah sakit Inggris. Tim mencoba menguji lebih dari 5 ribu orang yang akan dikirimi suplemen vitamin D melalui pos. Hal ini demi menghindari kontak tatap muka selama pandemi.
"Ada banyak bukti bahwa vitamin D dapat mengurangi risiko infeksi saluran pernapasan,” kata ketua studi tersebut, Adrian Martineau dilansir dari Arab News pada Kamis (15/10).
Anggota tim penelitian David Jolliffe menyampaikan kekurangan vitamin D lebih sering terjadi pada orang tua, orang yang kelebihan berat badan, dan pada orang kulit hitam serta Asia.
"Mereka semua kelompok yang berisiko tinggi terpapar virus corona," ujar Jolliffe.
Jolliffe optimis bahwa studi tersebut berpotensi membantu dunia memerangi pandemi. Sebab suplemen vitamin D tergolong berbiaya rendah.
"Risikonya juga rendah dan dapat diakses secara luas. Jika terbukti efektif, mereka dapat secara signifikan membantu perjuangan global kita melawan virus," ujar Jolliffe.
Sebelumnya, National Institute for Health and Care Excellence Inggris menyampaikan pada Juni lalu tidak ada cukup bukti untuk menyimpulkan suplemen vitamin D bekerja efektif melawan virus corona. Vitamin D sering disebut sebagai "vitamin sinar matahari" karena tubuh membuatnya saat terkena sinar matahari. Vitamin D bermanfaat menjaga tulang, gigi dan otot dalam kondisi yang baik karena kadar kalsium dan fosfat yang sehat.
Ikuti Whatsapp Channel Republika