REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih banyak orang yang belum memahami ada berbagai ancaman keamanan siber yang ada di sekeliling kita. Ketika pandemi hadir, Covid-19 pun menyedot perhatian yang begitu besar dari masyarakat. Apa pun yang berkaitan dengan informasi terkait Covid-19, begitu menarik minat dan menyebar dengan luas.
Dalam beberapa bulan terakhir, perusahaan Kaspersky telah melihat bagaimana penjahat dunia maya mengeksploitasi topik terkait Covid-19 secara besar-besaran. CEO Kaspersky, Eugene Kaspersky, menjelaskan, para penipu telah banyak mengeksploitasi virus corona dalam e-mail phishing perusahaan.
Mereka sering kali mengutip masalah pengiriman paket terkait virus corona. Kemudian, membuat penerima bertanya-tanya tentang pengiriman apa yang mereka maksud dan memutuskan penerima membuka e-mail tersebut.
"Penjahat dunia maya selalu pandai me nemukan kelemahan manusia dan menggunakannya untuk keuntungan mereka. Dalam pengertian ini, pandemi telah menjadi saat yang bermanfaat bagi mereka," ujar Eugene.
Namun, seiring dengan berkembangnya budaya kerja jarak jauh dalam beberapa bulan terakhir. Hal itu juga memicu dinamika dan tantangan baru yang menyoroti perlunya jenis arsitektur keamanan siber baru.
Menurut Eugene, selama periode pandemi dan pembatasan wilayah, Kaspersky telah mendeteksi 23 persen pertumbuhan serangan brute force pada server database karena kerja jarak jauh. "Untuk mengatasi masalah dunia maya yang berkembang saat ini, di atas segalanya, kita harus memikirkan solusi keamanan yang relevan, berhati-hati dengan informasi yang kami terima, dan memfasilitasi kerja sama internasional antarnegara," ujarnya lagi.
Menurut penelitian terbaru di Kaspersky Global Privacy Report 2020, lebih dari 80 persen responden telah mencoba menghapus informasi pribadi mereka dari platform digital untuk menjaga keamanan data pribadi. Dalam riset yang dilakukan pada Januari hingga Februari 2020 kepada 15 ribu responden ini, lebih dari sepertiga (34 persen) menemukan bahwa pihak ketiga menerima akses ke informasi pribadi mereka tanpa adanya persetujuan mereka dan 20 persen menyatakan keprihatinan tentang data yang dikumpulkan aplikasi seluler.