Senin 31 Aug 2020 23:24 WIB

Pemerintah Diminta Bijak Dana Transformasi Digital di Daerah

Pemerintah menyiapkan Rp 14,7 triliun untuk transformasi digital dan akses internet.

Modem nirkabel disewakan dengan jaringan internet stabil dan tanpa batas (Foto: ilustrasi modem)
Foto: Pixabay
Modem nirkabel disewakan dengan jaringan internet stabil dan tanpa batas (Foto: ilustrasi modem)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah akan menyiapkan anggaran untuk Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Rp 14,7 triliun pada 2021. Dana tersebut dipergunakan untuk transformasi digital dan akses internet 12.500 desa/ kelurahan daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) di Indonesia.

Anggaran untuk transformasi digital yang direncanakan pemerintah, menjadi perhatian Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi. Menurut pengamat kebijakan keuangan ini, pemerintah harus ekstra hati-hati dalam mengalokasikan anggaran, terlebih lagi saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19.

Uchok memperkirakan hingga tahun 2021, ekonomi Indonesia masih belum membaik. Kontraksi ekonomi masih akan terus terjadi. Sehingga akan mempengaruhi pendapatan negara baik dari pajak maupun non-pajak. Sementara defisit anggaran tahun depan diperkirakan mencapai 5,50 persen dari PDB atau Rp 971,2 triliun dan pembayaran hutang mencapai Rp 373 triliun.

"Melihat dari kenyataan tersebut saya memperkirakan pembangunan infrastruktur telekomunikasi di tahun 2021 berpotensi mengalami penundaan. Meski Menkominfo mengatakan akan menggunakan dana non pajak, namun saya perkirakan tidak akan mencukupi," terang Uchok.

Uchok berkata, sebenarnya Menkominfo Johnny G. Plate memiliki banyak pilihan untuk memberikan layanan telekomunikasi di 12.500 desa yang belum mendapatkan layanan telekomunikasi, tanpa harus menimbulkan beban berat bagi keuangan negara. Tinggal Menkominfo yang memutuskan langkah mana yang akan menjadi prioritas dalam penggelaran dan penggunaan teknologinya.

Uchok menyarankan kepada Menkominfo untuk terlebih dahulu memetakan daerah 3T mana saja yang menjadi target jangka pendek, menengah dan panjang program pembangunan sarana dan prasarana telekomunikasi. Termasuk teknologi yang akan dipakai serta potensi dan infrastruktur dasar yang dimiliki di wilayah tersebut.

“Ini membutuhkan kecepatan dan kecerdasan serta kapasitas yang mumpuni dari jajaran Kemenkominfo. Sehingga dengan anggaran yang terbatas pencapaian pembangunan sarana dan prasarana telekomunikasi yang menjadi ojektif pemerintah dapat tercapai," kata Uchok.

Bukti terbatasnya kemampuan dan kapasitas jajaran Kemenkominfo ini, menurut Uchok. dapat dilihat dari tidak akuratnya data yang dimiliki oleh Kemenkominfo dan BAKTI. "Ini menjadi bukti bahwa selama ini Kemenkominfo dan BAKTI tidak ada kerjanya,” ucap Uchok.

Ia mengaku prihatin dengan Presiden Jokowi dan Menkominfo yang tidak didukung dengan data yang valid oleh jajaran Kemenkominfo dan BAKTI. Tanpa ada data yang jelas mengenai daerah 3T maka tujuan Presiden dan Menkominfo untuk memberikan layanan telekomunikasi ke masyarakat di daerah tersebut akan sulit terwujud.

Jangan sampai, kata dia, Presiden Jokowi atau Menteri Johnny beranggapan dana Rp 14,7 triliun tersebut cukup untuk untuk memberikan layanan telekomunikasi di seluruh daerah 3T. "Kita perlu belajar dari janji palsu Menkominfo sebelumnya yang mengatakan ketika proyek Palapa Ring selesai, maka seluruh daerah di Indonesia dapat terlayani internet kecepatan tinggi."

Dengan dana yang terbatas, opsi yang menurut Uchok paling terjangkau dan mudah untuk dieksekusi Menteri Johnny adalah dengan memanfaatkan jaringan Palapa Ring yang sudah tergelar. Mengutamakan pemanfaatan jaringan Palapa Ring yang sudah tergelar menurut Uchok merupakan keinginan Presiden Jokowi. Apalagi dulu yang meresmikan juga Presiden Jokowi. Cara untuk memanfaatkan serta meningkatkan utilisasi Palapa Ring dapat dilakukan dengan menggunakan dana APBN 2021 untuk membuat jaringan backhaul fiber optik maupun microwave link.

Saat ini Pemerintah sudah menyediakan Sistem Komunikasi Kabel Bawah Laut (SKKL) Palapa Ring Paket Barat, Palapa Ring Paket Tengah dan Palapa Ring Paket Timur. Utilisasi Palapa Ring dari 3 paket tersebut masih jauh di bawah harapan. Contohnya saja Palapa Ring Paket Barat yang terdiri dari 24 core (12 pair) dengan kapasitas masing-masing pair 100 Gbps. Hingga kini PT Palapa Ring Barat selaku operator baru memanfaatkan 1 pair kapasitas yang ada di jaringan Palapa Ring Barat. Dari 1 pair kapasitas yang dimanfaatkan PT Palapa Ring Barat, utilisasinya pun masih terbilang rendah yaitu hanya 30 persen.

Memperhatikan besarnya kapasitas yang masih idel, seharusya Pemerintah melalui Kemenkominfo dibantu BPK dapat melakukan evaluasi menyeluruh terlebih dahulu mengenai kapasitas dan utilisasi Palapa Ring. Jika daerah yang disasar Kemenkominfo memiliki geografis yang menantang dan tak memungkinkan dijangkau oleh jaringan Palapa Ring, Pemerintah bisa memilih opsi untuk menggunakan satelit yang telah dioperasikan operator telekomunikasi.

Jika kapasitas satelit sudah tidak memungkinkan lagi, Uchok meminta agar pemerintah juga bisa mempertimbangkan untuk menggunakan satelit Starlink atau Low Earth Orbit Satellite (LEO). Dari kajian awal terlihat anggaran yang dibutuhkan untuk satelit jenis ini lebih rendah. Namun, sebagai teknologi yang masih baru, tentunya kajian menyeluruh perlu dilakukan guna memastikan pilihan ini tidak membebani keuangan negara di masa mendatang.  

Ditanya pendapatnya tentang SATRIA, Uchok menjawab bahwa SATRIA bukan solusi yang bisa dipilih karena tidak sesuai dengan keinginan presiden dan juga bukan prioritas saat ini. “SATRIA itu kan masih bermasalah dengan pendanaannya. Kalaupun selesai, paling cepat 2023 baru bisa diluncurkan. Itu kan Anang Latif, Dirut BAKTI sendiri yang bicara. Sedangkan presiden ingin solusi internet segera karena kondisinya sedang pandemi Covid-19. Jadi jelas, SATRIA itu bukan solusi,” terang Uchok.

Dilihat dari sisi anggaran, SATRIA tentu akan mengurangi kemampuan pemerintah dalam mendanai jaringan telekomunikasi di daerah 3T. Dana untuk pengadaan satelit saja Rp 21 triliun. Belum termasuk ground segment, biaya operasional, serta availability payment yang setiap tahun harus dibayar pemerintah meskipun satelit tidak digunakan.

“Jangan terkecoh dengan statement BAKTI selama ini yang menyebutkan bahwa mereka telah berhasil mendapatkan pendanaan dari China dan Perancis. Pendanaan itu kan pinjaman yang harus dikembalikan beserta imbal hasilnya. Artinya kan BAKTI berhutang, dan akan dibayar pakai APBN tiap tahun dalam bentuk availability payment. Belum lagi pinjaman tersebut tidak 100% langsung dapat mendanai SATRIA, ujung-ujungnya APBN yang akan dijadikan tumbal untuk menutupi kekurangan,” jelas Uchok.

Guna mendukung program pemerintah Presiden Jokowi, Uchok juga menyarankan agar Kemenkominfo dapat berdialog dengan perusahaan telekomunikasi yang tergabung dalam Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL), Asosiasi penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) untuk mencari solusi yang terbaik pengadaan jaringan telekomunikasi di daerah 3T.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement