Selasa 11 Aug 2020 23:08 WIB

Pemanasan Iklim akan Merusak Lahan Gambut Beku

Selama ribuan taun, gambut menyimpan karbon yang menjaga bumi tetap dingin.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Dwi Murdaningsih
Perubahan iklim (Ilustrasi)
Foto: PxHere
Perubahan iklim (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Lahan gambut dunia akan menjadi sumber gas rumah kaca yang besar seiring dengan peningkatan suhu abad ini. Saat ini, karbon dalam jumlah besar disimpan di daerah berawa. Di bagian bumi utara, rawa sering ditemukan dalam keadaan membeku.

Namun, menurut para ilmuwan, banyak dari tanah yang membeku secara permanen akan mencair pada abad ini. Karbon akan melepaskan gas pemanasan dengan kecepatan 30-50 persen lebih besar dari perkiraan sebelumnya. Lahan gambut memainkan peran penting dalam sistem iklim global.

Baca Juga

Dilansir di BBC, Selasa (11/8), dijelaskan bahwa selama ribuan tahun, gambut telah mengumpulkan karbon dan nitrogen dalam jumlah besar, yang membantu menjaga bumi tetap dingin.

Namun, para ilmuwan sangat menyadari bahwa lahan gambut termasuk hampir setengahnya yang membeku secara permanen. Lahan gambut sangat rentan terhadap kenaikan suhu. Sayangnya, kurangnya peta yang akurat membuat perkiraan dampak iklim terhadap gambut secara penuh sulit dilakukan.

Menggunakan data yang dikumpulkan dari lebih dari 7.000 observasi lapangan, penulis studi baru ini mampu menghasilkan peta paling akurat hingga saat ini tentang lahan gambut. Data mencakup kedalaman lahan gambut hingga jumlah gas pemanasan yang dikandungnya.

Mereka menunjukkan bahwa medan berawa mencakup 3,7 juta kilometer persegi. Para peneliti mengatakan lahan gambut utara menyimpan sekitar 415 gigaton karbon. Itu kira-kira setara dengan 46 tahun emisi CO2 global saat ini.

Dalam studi mereka, penulis memproyeksikan bahwa lahan gambut akan menjadi sumber utama CO2 seiring dengan pemanasan dunia. Satu pertanyaan kuncinya adalah kapan ini akan terjadi.

"Sayangnya, kami tidak dapat menentukan waktu yang tepat untuk angka-angka ini sejauh ini, modelnya belum begitu maju," kata penulis utama studi, Gustaf Hugelius dari Universitas Stockholm, Swedia.

"Tapi perkiraan terbaik saya adalah pergeseran ini akan terjadi pada paruh kedua abad ini." ucap dia.

Dampak pencairan rawa yang beku

Penulis laporan mengatakan bahwa perkiraan baru karbon yang dipancarkan melalui pencairan, dan dari hilangnya gambut ke sungai dan aliran sungai, adalah 30-50 persen lebih besar daripada proyeksi sebelumnya tentang kehilangan karbon dari pencairan permafrost.

Jika perkiraan lahan gambut baru ini disertakan dengan semua perkiraan pencairan permafrost, maka diperkirakan akan sama dengan emisi tahunan Uni Eropa dan Inggris pada tahun 2100.

"Satu-satunya cara untuk membatasi umpan balik karbon permafrost adalah dengan mengurangi pemanasan global. Karena Arktik menghangat dua kali lebih cepat dari bagian dunia lainnya, jalur pemanasan yang lebih tinggi yang kita hadapi sekarang menghancurkan bagian dunia yang membeku secara permanen," kata Dr Hugelius.

Para ahli mengatakan bahwa dengan investasi yang tepat untuk melindungi dan memulihkan lahan gambut yang tidak beku, rawa dapat terus menyerap dan menyimpan CO2 dalam jumlah besar. Demikian pula, saat gambut beku mencair, rawa mulai mampu menumbuhkan tanaman dan menyimpan gas penghangat.

Sementara studi baru mengatakan mungkin perlu beberapa abad bagi lahan gambut untuk mulai menyerap CO2 dalam jumlah besar, yang lain percaya itu mungkin terjadi lebih cepat.

Direktur Program Lahan Gambut IUCN Inggris, Clifton Bain mengatakan, jika iklim hangat dan kondisinya lebih baik untuk vegetasi, vegetasi dapat merespons dalam hitungan dekade.

"Kami telah melihat di Inggris ketika Anda menghancurkan lahan gambut dan merobek vegetasi permukaan dan mengeringkannya, jika Anda membasahinya kembali dan ada sumber sphagnum moss di sana, mereka akan tumbuh kembali dalam beberapa dekade. Jadi, adalah mungkin dalam kondisi yang tepat bagi vegetasi curah untuk pulih dengan sangat cepat." kata Bain.

Studi ini telah dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement