Selasa 14 Jul 2020 16:03 WIB

Kecerdasan Buatan Kini Dipakai untuk Racik Parfum

Pembuatan parfum kini banyak dilakukan robot yang bahkan tak bisa mengendus wewangian

Rep: Rizkyan adiyudha/ Red: Dwi Murdaningsih
Menggunakan Parfum (Ilustrasi)
Foto: Pixabay
Menggunakan Parfum (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri parfum terkena imbas dari perkembangan teknologi. Segelintir produsen parfum kini tidak lagi menggunakan manusia untuk menganalisis suatu keharuman yang terkandung dalam bahan kimia tertentu.

Seperti diwartakan BBC, Selasa (14/7) industri parfum sudah menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Belajar dari pengalaman sebelumnya, AI bahkan dapat meningkatkan hasil secara otomatis dan dapat menyarankan kombinasi bahan.

Baca Juga

Teknologi membuat peracik parfum tinggal menggunakan layar sentuh untuk menyatukan beragam aroma menggunakan data dari perpustakaan parfum kenamaan. Proses tersebut tentu jauh lebih efisien daripada menggunakan kertas parfum.

Sebuah robot kecil segera memproses wewangian itu menjadi parfum sehingga memudahkan para peracik untuk menguji aroma baru mereka. Pabrikan kini kian beralih ke teknologi untuk menciptakan wewangian unik yang dapat diproduksi hanya dalam hitungan menit.

"Ini tentang menemukan cara untuk memberikan lebih banyak waktu kepada peracik parfum," kata Wakil Presiden pembuat parfum dan direktur Sekolah Perfumery Givaudan, Calice Becker.

Dia mengatakan, para pembuat parfum dapat memilih lebih dari 1500 bahan wewangian dan menempatkan ke dalam botol tanpa menyentuh mereka. Dia melanjutkan, cara itu juga membantu para peracik meramu parfum lebih cepat karena tidak perlu menyontek pada sebuah catatan tertentu.

Menurutnya, seni meracik parfum terus berevolusi selama bertahun-tahun. Dia menegaskan, penggunaan kecerdasan buatan merupakan langkah yang lebih progresif dari evolusi tersebut.

"Ini adalah nilai tambah yang besar bukan hanya karena kami mendapatkan waktu tetapi ada lebih banyak keintiman ketika kami terhubung di depan alat," ungkapnya.

Dia melanjutkan, hingga 40 tahun lalu para peracik parfum meramu penuh dengan bahan-bahan wewangian di depannya. Mereka mengambil bumbu tersebut dan menuliskan volume dan nama dari subjek yang dipilih di atas lembaran kertas.

Produsen parfum yang berbasis di Swiss, Givaudan Fragrances tahun lalu meluncurkan Carto. Adalah sebuah alat yang disematkan kecerdasan buatan untuk membantu para peracik parfum.

Langkah serupa juga dilakukan rumah parfum asal Jerman, Symrise. Bekerja sama dengan IBM Research, mereka menciptakan AI bernama Philyra, yang diambil dari nama dewi parfum Yunani.

Philyra mempelajari formula aromatik dan data pelanggan untuk menghasilkan varian parfum baru. Seperti Carto, Philyra sebenarnya tidak bisa mengendus aroma apa pun.

Semua bebauan, termasuk motif bunga, orientals dan chypre, dibuatkan kode dan dimasukan ke dalam kecerdasan buatan tersebut. AI juga diajarkan tentang seberapa banyak masing-masing bahan akan sesuai satu sama lain.

"Mesin ini terus belajar dan terkadang hasilnya salah. Ini masih sebuah proyek karena semakin banyak kami menguji maka hasil semakin terus meningkat. Itu selalu membutuhkan pelatihan," katanya.

Perusahaan parfum asal Belanda, ScenTronix bahkan mempersilahkan pelanggan mereka untuk membuat aroma pribadi mereka masing-masing. Hal itu dilakukan berdasarkan kuesioner yang mereka jawab ketika memasuki toko Algorithmic Perfumery.

Setelah menjawab pertanyaan seperti bagaimana Anda melihat peran Anda dalam kehidupan dan lingkungan seperti apa Anda tumbuh dewasa, algoritme menganalisis data untuk membuat parfum unik bagi pelanggan dalam waktu tujuh menit.

"Industri parfum banyak tentang merek dan menyesuaikan identitas Anda dengan itu. Saya pikir itu akan menjadi ide yang baik untuk sepenuhnya mengubah dinamika dan sehingga parfum menjadi tentang siapa Anda dan bukan tentang merek," kata ScenTronix co-founder, Frederik Duerinck.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement