REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap detik, bintang mati di alam semesta. Namun, bintang tak sepenuhnya menghilang, melainkan meninggalkan sesuatu.
Beberapa bintang meledak dalam supernova, berubah menjadi black hole (lubang hitam) ataU bintang neutron. Sementara, sebagian besar bintang menjadi white dwarf (katai putih) atau inti bintang yang pernah digunakan.
sebuah studi baru mengungkapkan bahwa katai putih berkontribusi lebih pada kehidupan di kosmos. Penelitian yang diterbitkan pada Senin (7/7) di jurnal Nature Astronomy, menunjukkan bahwa White Dwarf Stars adalah sumber utama atom karbon di Bima Sakti. Karbon merupakan sebuah unsur kimia yang diketahui sangat penting bagi semua kehidupan.
Ketika bintang-bintang seperti matahari, bintang yellow dwarf (katai kuning) kehabisan bahan bakar, mereka kemudian berubah menjadi bintang white dwarf. Faktanya, 90 persen dari seluruh bintang di alam semesta berakhir menjadi bintang white dwarf.
Dilansir Inverse, white dwarf bersifat panas, dengan sisa-sisa bintang padat yang memiliki suhu mencapai 100.000 Kelvin. Seiring waktu, bintang-bintang ini menjadi dingin dan akhirnya redup ketika melepaskan materi luarnya. Namun, tepat sebelum runtuh, jasad mereka diangkut melalui ruang angkasa oleh angin yang berasal dari tubuh mereka.
Abu bintang ini mengandung unsur kimia seperti karbon. Perlu diketahui, karbon adalah bahan kimia paling berlimpah keempat di alam semesta dan merupakan elemen kunci dalam pembentukan kehidupan karena merupakan blok pembangun dasar bagi sebagian besar sel.
Semua karbon di alam semesta berasal dari bintang. Oleh karena itu ungkapan bahwa segala sesuatu terbuat dari bintang tidak hanya puitis tetapi cukup akurat. Namun, para astronom tidak bisa setuju pada jenis bintang mana yang bertanggung jawab untuk menyebarkan karbon paling banyak di seluruh kosmos.
Para ilmuwan di balik studi baru ini menggunakan pengamatan white dwarf di gugusan bintang terbuka, kelompok beberapa ribu bintang terbentuk sekitar waktu yang sama, di Bima Sakti oleh W. M. Keck Observatory di Hawaii, Amerika Serikat (AS) pada 2018.
Studi juga mengukur hubungan massa awal hingga akhir bintang-bintang, yang merupakan hubungan antara massa bintang-bintang ketika pertama kali terbentuk. Termasuk tentang massa mereka sebagai white dwarf.
Biasanya, semakin besar suatu bintang, maka semakin besar juga ukuran white dwarf. Namun, penelitian ini menemukan bahwa massa bintang-bintang sebagai white dwarf lebih besar dari yang diperkirakan para ilmuwan, dibandingkan massa awal mereka ketika pertama kali terbentuk.
"Studi kami menginterpretasikan kekusutan ini dalam hubungan massa awal-akhir sebagai tanda tangan sintesis karbon yang dibuat oleh bintang bermassa rendah di Bima Sakti," ujar Paola Marigo, seorang peneliti di Universitas Padua di Italia dan penulis utama penelitian dalam sebuah pernyataan.
Tim ilmuwan menyimpulkan bahwa bintang yang lebih besar dari dua massa matahari juga berkontribusi terhadap pengayaan karbon secara galaksi. Sementara, bintang yang kurang dari 1,5 massa matahari tidak.
“Sekarang kita tahu bahwa karbon berasal dari bintang-bintang dengan massa kelahiran tidak kurang dari 1,5 massa matahari," jelas Marigo.
Studi baru ini sekaligus menunjukkan bahwa karbon pada dasarnya terperangkap dalam bahan baku yang membentuk Tata Surya sekitar 4,6 miliar tahun yang lalu.