REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini, Robot Kolaboratif (Cobot) telah menjadi pusat perhatian dalam suatu modernisasi industri dan pabrik. Namun di saat teknologi robot dan otomatisasi meningkat, justru muncul mitos-mitos dan kesalahpahaman, seperti kemungkinan teknologi tersebut akan menggusur manusia dan memperburuk risiko kerja di pabrik.
Head of Southeast Asia & Oceania Universal Robots (UR), Darrell Adams, mengatakan hanya 14 persen pekerjaan yang dapat sepenuhnya menerapkan otomatisasi. Menurutnya, tetap tidak akan ada mesin yang bisa menggantikan ketangkasan, pemikiran kritis, pengambilan keputusan, dan kreativitas manusia.
Ketika Indonesia tengah bergerak menuju otomatisasi, produksi pun akan meningkat, dan lebih banyak lapangan pekerjaan bisa diciptakan. "Baik pria maupun wanita di Indonesia tidak perlu khawatir kalau robot akan menggusur pekerjaan manusia," ujar Adams dalam siaran persnya, Senin (6/7).
Selain itu terdapat mitos bahwa otomatisasi robot ditujukan untuk operasi skala besar yang kompleks. "Saat orang berpikir tentang robot, di dalam pikiran mereka seringkali terbayangkan mesin yang besar, yang memproses perakitan dan pengolahan kayu misalnya, yang mengantre untuk diolah oleh mesin otomatis. Kenyataannya, dengan cobot, perusahaan dapat menggunakannya untuk tugas yang paling sederhana sekalipun," katanya.
Selain itu, juga ada mitos yang menganggap susah untuk merawat dan menjaga mesin robot. Adams mengatakan memang benar kalau ada sebagian robot yang berukuran besar, rumit, dan sulit untuk dioperasikan. Namun kenyataannya,cobot tidak serumit itu. "Cobot mudah sekali dipakai, dioperasikan, dan dipelihara," katanya.
Sementara itu, terkait mitos yang mengatakan robot berbahaya bagi manusia, Adams mengatakan bahwa Cobot berbeda dari robot tradisional. "Cobot dibuat dibuat dengan mempertimbangkan keselamatan manusia dan mengurangi risiko kecelakaan kerja," ujarnya.