Kamis 25 Jun 2020 16:16 WIB

Bot dan Manipulasi Medsos, Bagaimana Menyikapinya?

Gunakan medsos lebih bijak dan jangan sering mengonsumsi umpan default.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Media sosial.( Ilustrasi)
Foto: Pixabay
Media sosial.( Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, POTSDAM -- Platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram awalnya bertujuan membuat setiap orang terhubung dengan teman atau keluarga, juga mendapat informasi. Namun belakangan, akun palsu atau bot terus memanipulasi media sosial (medsos) hingga akhirnya memicu perselisihan dan menyerang akun Anda.

Profesor Ilmu Komputer di Clarkson University Jeanna Matthews menjelaskan, medsos mengadopsi teori algoritma yang akan menyuguhkan konten sesuai apa yang disukai oleh sebuah akun.

Sistem di medsos juga akan menyoroti unggahan yang banyak dikomentari baik itu positif atau negatif oleh warganet. Sayangnya, unggahan hoaks dan konten ekstrem lebih sering mendapat panggung dan mudah menyebar dengan cepat dan luas.

Matthews mengatakan konten tersebut banyak dilakukan oleh pasukan bot. Faktanya, mereka dikendalikan oleh peretas yang berada di negara lain. "Sebagai contoh, para peneliti telah melaporkan bahwa lebih dari setengah akun Twitter yang membahas Covid-19 adalah bot," kata Matthews dilansir di laman the Conversation, Kamis (25/6).

Sebagai peneliti medsos, dia sering melihat ribuan akun dengan gambar profil sama secara serentak menyukai postingan tertentu atau satu akun memposting ratusan kali per hari, jauh lebih banyak dibandingkan yang bisa dilakukan manusia.

Tak hanya itu, Matthews juga pernah menemukan akun yang mengaku sebagai istri tentara patriotik All-American dari Florida, tetapi anehnya riwayat postingan sebelumnya menggunakan bahasa Ukraina. Akun seperti ini disebut sock puppet, istilah untuk akun yang digunakan demi tujuan penipuan.

Dalam banyak kasus, penipuan ini dapat dengan mudah diungkapkan dengan melihat riwayat akun. Tetapi dalam beberapa kasus, ada investasi besar dalam membuat akun sock puppet tampak seperti nyata.

Misalnya, Jenna Abrams, akun yang memiliki 70 ribu pengikut, dikutip oleh media sayap kanan seperti The New York Times untuk mengutip pendapat tentang xenofobia (ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain atau yang dianggap asing). Padahal setelah ditelusuri, akun tersebut dikendalikan oleh Internet Research Agency, troll (pembuat onar di internet) yang didanai Pemerintah Rusia.

Troll sering memicu perpecahan dan ketidakpercayaan. "Sebagai contoh, para peneliti pada tahun 2018 menyimpulkan bahwa beberapa akun yang paling berpengaruh antara kelompok Black Lives Matter dan Blue Lives Matter dikendalikan oleh troll," kata Matthews.

Menurut dia, lebih dari sekadar memicu pertentangan, troll ingin mendorong bahwa kebenaran tidak ada lagi. Memecah dan menaklukkan. Tidak mempercayai siapa pun yang mungkin bertindak sebagai pemimpin atau suara teepercaya. "Mengacaukan. Membingungkan. Masing-masing adalah strategi serangan yang menghancurkan," kata Matthews.

Jadi, apa yang dapat dilakukan untuk lepas dari kendali bot, troll, atau sock puppet? Pertama, gunakan medsos lebih bijak dan jangan terlalu banyak mengonsumsi umpan default. Kedua, kendalikan akun medsos Anda dengan mengelola postingan mana yang porsinya harus lebih sering muncul dan mana yang dibatasi.

Ketiga, waspadai masalah favorit troll dan bersikaplah skeptis terhadapnya karena mereka paling tertarik menciptakan kekacauan. Yang terpenting, gunakan medsos seperlunya. "Posisikan media sosial seperti zat adiktif atau zat beracun lainnya, dan berinvestasilah dengan membangun komunitas yang lebih nyata. Dengarkan orang-orang nyata, kisah nyata, dan pendapat nyata," kata Matthews.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement