REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Tidak bisa ditampik lagi kalau pelajaran Matematika kerap menjadi momok bagi anak. Angka-angka, perhitungan, memahami soal cerita, hingga menghafal rumus-rumus tak sedikit yang akhirnya membuat mereka membenci matematika dan malas untuk mempelajari dengan lebih serius.
Kira-kira, apa yang bisa guru dan orang tua lakukan agar ketakukan pada Matematika nggak terjadi ke anak? Host Program Gemar Matematika Kemdikbud RI sekaligus Presiden Direktur Klinik Pendidikan MIPA (KPM), Ridwan Hasan Saputra mengatakan bahwa orang tua dan guru tanpa disadari telah melupakan esensi mengajarkan Matematika dengan cara yang menyenangkan. Lantas, bagaimana caranya agar anak terlebih dahulu menyenangi Matematika itu sendiri?
Simak kiat cara mengajarkan Matematika yang menyenangkan menurut cara berpikir suprarasional.
Kenali dan Dekat dengan Anak/Murid
Ridwan menganalogikan Guru Ibarat Teko, Murid Ibarat Cangkir. “Kalau bisa teko itu mendekati cangkir dan dekat dengan cangkir. Sehingga airnya akan mudah mengalir ke dalam cangkir. Jangan sampai posisi cangkir lebih tinggi daripada teko,” ungkap RHS dalam unggahan video di Channel Youtube Ridwan Hasan Saputra.
Mengapa demikian? Pada saat proses mengajar seharusnya guru dan orang tua memiliki kedekatan dengan anak/murid, baik secara hati maupun fisik. Sehingga anak merasa nyaman ketika menerima ilmu dari guru maupun orang tua. Tak jarang juga seorang guru pasang muka galak di awal belajar sehingga anak sudah merasa ketakutan.
Pada saat belajar juga terdapat proses perpindahan ilmu. Jika guru/orang tua yang diibaratkan sebuah teko tidak dekat dengan murid/anak yang diibaratkan cangkir, maka ilmunya tidak akan mengalir dengan sempurna ke anak. “Artinya, hati anak dengan hati guru/orang tua dalam posisi menjauh. Itu tidak bagus, sehingga ilmunya susah disalurkan atau ketika dikucurkan ilmunya tidak tepat sasaran,” tegas RHS.
Pahami Kompetensi Diri Ketika Mengajar Matematika
Sebelum mengajar, kita juga harus mengetahui kompetensi diri masing-masing. Ridwan menjelaskan, seorang guru Matematika tidak harus memiliki kompetensi di semua level. Ketika guru tersebut hanya mampu mengajar di level SMP, jangan memaksakan diri untuk mengajar di level SMA atau perguruan tinggi. Bahkan, ketika hanya bisa mengajarkan berhitung 1 sampai 10, guru tersebut sudah bisa dikatakan sebagai guru Matematika karena yang terpenting anak bisa menyenangi dan memahami ilmunya.
Menjadi Fasilitator Agar Anak Semangat Belajar
Sesekali berikanlah penghargaan atau pujian kepada siswa yang berprestasi, misalnya, “kamu hebat”, kamu luar biasa”, dan sebagainya, sehingga anak jadi lebih bersemangat. Ketika ada anak yang gagal, jangan dicaci atau dimarahi karena metode ini akan mempengaruhi motivasi dan psikologi anak dalam belajar Matematika. Ketika ada siswa yang sulit memahami soal, berikan soal dari yang termudah dan berikan semangat sampai mereka menemukan solusinya. “Ingat belajar Matematika bukan berpikir adu cepat,” kata RHS.
Mencari Guru yang Tepat
Jika orang tua merasa tidak mampu lagi membekali anaknya belajar Matematika karena tingkat kesulitan soal, carilah guru yang tepat. Pada dasarnya, setiap guru adalah ujung tombak dalam keberhasilan pembelajaran Matematika. oleh karena itu, carilah seorang guru yang memiliki rekam jejak baik. Kendati demikian, yang terpenting adalah rasa suka terlebih dahulu sama Matematika, barulah siswa tersebut akan semangat belajar. Jika belum memiliki rasa suka terhadap Matematika, diikutsertakan bimbingan belajar pun akan merasa segan, sekalipun gurunya harus datang ke rumah.
Ajarkan Adab dan Akhlak Dahulu, Matematika Kemudian
Pelajaran Matematika itu berisi kesepakatan-kesepakatan rumus, misalnya rumus segitiga (alas x tinggi : 2) dan rumus persegi panjang (panjang x lebar). Anak yang salah mengerjakan berarti dia telah melanggar kesepakatan. Maknanya apa? Sebelum mengajarkan Matematika, ajarkan terlebih dahulu adab dan akhlak. Sebagai contoh bagi yang beragama islam harus hormat kepada guru, hormat kepada orang tua, taat berlalu lintas, dan sebagainya.
Menurut Tokoh Perubahan Republika Tahun 2013 ini semua aturan-aturan yang tidak berhubungan dengan angka langsung dinamakan Matematika tanpa angka. Menurut RHS, Matematika tanpa angka ini harus diajarkan pertama kali kepada anak sebelum seorang guru/orang tua mengajarkan Matematika dengan angka.
Urgensi pembelajaran adab dan akhlak sejatinya perlu diutamakan dan diimplementasikan sejak dini. RHS berharap jika Matematika tanpa angka (adab dan akhlak) baik, maka Matematika dengan angka akan baik pula. Karena di hati seorang anak sudah terbiasa mengikuti aturan dalam kehidupan. Kesimpulannya, proses pembelajaran Matematika bukan sekedar fokus pada menciptakan anak yang pintar Matematika saja, tetapi harus memiliki ketiganya yakni, anak yang saleh, salihah, dan pintar Matematika.