REPUBLIKA.CO.ID, SAN FRANSISCO -- Twitter menyatakan pada Kamis (11/6), bahwa pihaknya menutup lebih dari 170.000 akun buzzer. Akun tersebut diduga menyebarkan semacam konten propaganda yang memuji pemerintah China, termasuk mengenai isu virus Covid-19.
Laman reuters melaporkan, Jumat (12/6), perusahaan media sosial itu juga menangguhkan sebanyak 23.750 akun yang sangat aktif sebagai jaringan utama. Kemudian, 150.000 akun dari kelompok pendengung yang menyebarkan konten dari kelompok inti tersebut.
Bersama dengan para analis konten digital, Twitter menyebut bahwa jaringan buzzer tersebut merupakan suatu lingkungan yang menggemakan informasi tertentu. Kumpulan akun ini dikenal dengan istilah echo chamber yang merupakan akun-akun palsu.
Jaringan itu mempunyai keterkaitan dengan jaringan buzzer serupa yang ditutup tahun lalu baik oleh Twitter maupun Facebook dan Youtube (milik Google). Sebab, akun-akun tersebut telah menyebarkan narasi menyesatkan tentang dinamika politik Hong Kong.
Sementara menurut para analis, jaringan yang baru ditutup ini selain mencuit dengan titik berat isu Hong Kong, juga mempromosikan pemerintah China dalam isu pandemi COVID-19, Taiwan, serta isu terkait miliuner China yang eksil, Guo Wengui. Pihak pemerintah China merespon hal itu dengan menyebut bahwa semestinya Twitter menutup akun-akun yang memfitnah China sendiri, jika memang ingin memerangi disinformasi, beralasan China merupakan korban terbesar dari berita keliru.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, menyampaikan kepada wartawan bahwa banyak platform menampung informasi keliru tentang China sehingga membutuhkan suara lain dengan pandangan yang objektif. Selama ini, pemerintah memblokir Twitter untuk wilayah daratan China.