REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyebaran informasi keliru seputar Covid-19 tampak kian masif menyebar di aplikasi perpesanan instan. Meski isinya tampak tak masuk akal, hoaks terus saja dibagikan melalui grup Whatsapp.
"Terus terang saja, memang masalah hoaks ini merupakan sesuatu yang sangat mengganggu ya," ungkap Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD K-GEH dalam siaran Instagram Live melalui akun Instagram pribadinya @dokterari.
Prof Ari mengatakan hoaks sudah bermunculan sejak kasus Covid-19 ditemukan. Akan tetapi, kontennya saat ini semakin beragam.
Untuk memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat, Prof Ari memberikan penjelasan mengenai beberapa hoaks yang santer beredar belakangan ini melalui beragam plaftorm, termasuk grup Whatsapp.
Hoaks: Covid-19 adalah propaganda dan disebabkan bakteri
Dalam sebuah pesan singkat berisi hoaks disebutkan bahwa Covid-19 bukan disebabkan oleh virus corona, melainkan bakteri. Hal ini diketahui oleh negara Italia setelah mengautopsi jenazah korban Covid-19.
Hoaks tersebut juga menyebutkan bahwa China dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memerintahkan jenazah korban Covid-19 harus langsung dikubur agar mayat tidak diautopsi. Dengan begitu, kebohongan bahwa Covid-19 disebabkan oleh virus bisa terjaga.
Fakta: Prof Ari menyatakan bahwa informasi tersebut benar-benar keliru. SARS-CoV-2 yang merupakan virus penyebab Covid-19 benar-benar ada. Virus ini bahkan sudah diketahui strukturnya dan sudah berhasil diisolasi di Indonesia.
"Kita sudah bisa kultur, itu bukan bakteri," ungkap Prof Ari.
Prof Ari juga menyoroti hoaks yang menyebut bahwa pandemi Covid-19 adalah propaganda. Informasi tersebut juga menyebutkan bahwa tenaga medis "dibayar" untuk propaganda ini. Ada pula narasi yang menyebutkan bahwa tenaga medis sengaja "berlama-lama" dalam merawat pasien.
Propaganda ini jelas runtuh dengan adanya fakta bahwa virus SARS-CoV-2 benar-benar nyata. Selain itu, Prof Ari juga menegaskan bahwa petugas medis berupaya membantu pasien untuk bisa sembuh secepat mungkin dan terhindar dari risiko kematian. Petugas medis pun ingin kehidupan bisa kembali normal seperti sedia kala, karena petugas medis pun juga berisiko tertular.
"Kami juga ingin kembali seperti kehidupan normal," jelas Prof Ari.
Hoaks: Covid-19 bisa disembuhkan dengan obat antibiotik, antiinflamasi, dan antikoagulan
Masih dalam pesan singkat berisi hoaks yang sama disebutkan bahwa Covid-19 bisa disembuhkan dengan pemberian Aspirin 100 mg dan Apronax atau Paracetamol. Hal ini dikarenakan hasil autopsi jenazah korban Covid-19 di Italia menemukan pembuluh darah yang melebar dan dipenuhi trombosis.
Kondisi ini, menurut pesan viral tersebut, kemudian menyebabkan gangguan di otak, jantung, serta paru pasien Covid-19. Hoaks tersebut juga menyebutkan bahwa penggunaan antibiotik bisa menyembuhkan pasien Covid-19. Alasannya, hasil autopsi yang dilakukan di Italia menunjukkan bahwa Covid-19 disebabkan oleh bakteri, bukan virus corona.
Fakta: Terkait informasi keliru ini, Prof Ari menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada obat yang bisa benar-benar melawan virus SARS-CoV-2. Obat-obatan yang selama ini diberikan kepada pasien hanya dapat membantu menurunkan jumlah virus di dalam tubuh pasien.
"Tapi tidak menghilangkan secara keseluruhan," jelas Prof Ari.
Dalam kasus tertentu, antibotik memang diberikan untuk pasien Covid-19. Akan tetapi, antibiotik hanya diberikan bila pasien mengalami infeksi sekunder.
Selain itu, antikoagulan juga hanya diberikan dalam kondisi tertentu. Sebagai contoh, sebagian pasien Covid-19 mengalami sindrom badai sitokin.
Sindrom badai sitokin ini biasanya terjadi sekitar minggu ketiga setelah pasien terinfeksi. Kondisi tersebut bisa menyebabkan beragam gangguan pada pasien, termasuk gangguan dalam pembekuan darah. Bila mengalami masalah ini, pasien memang akan diberikan antikoagulan untuk mencegah pembentukan pembekuan darah.
Prof Ari menjelaskan, pemberian aspirin pada pasien Covid-19 justru dapat membahayakan. Pemberian aspirin pada pasien Covid-19 berisiko menimbulkan perdarahan.
"(Informasinya) disambung-sambungkan sehingga menjadi anjuran yang salah. Masyarakat mesti teliti, ini benar atau tidak infonya. Kalau perlu konsul dulu ke dokter. Kita juga tidak boleh sebarkan info (hoaks) tersebut," jelas Prof Ari.