REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Misi Badan Antariksa AS (NASA) SpaceX Demo-2 penuh simbolisme. 'Launch America' merupakan misi berawak pertama dari AS setelah program penerbangan ulang-alik dihentikan. Ini juga program bergengsi setelah misi Appolo.
Jelas terlihat adanya upaya untuk langsung mengaitkan setiap sukses misi SpaceX dengan misi legendaris Apollo yaitu pendaratan di bulan. Demo-2 adalah misi berawak pertama yang diluncurkan lagi dari Kennedy Space Center di Cape Canaveral, Florida AS setelah misi Space Shuttle dihentikan tahun 2011.
Misi berawak terakhir NASA tahun 2011 diluncurkan lewat pesawat ulang-alik STS-135 yang membawa astronut ke International Space Station (ISS). Misi saat itu mengangkut astronot AS Douglas Hurley dan Robert Behnken, untuk bergabung dengan Christopher Cassidy yang sudah berada di ISS.
Nilai simbolik lainnya yang ditonjolkan adalah lokasi peluncuran SpaceX yang akan membawa astronot ke ruang angkasa. Pangkalannya bernama Complex 39A. Situs peluncuran ini dibangun untuk penerbangan misi Apollo dari 1969 hingga 1972.
Setelah itu landasan peluncuran roket Complex 39A dimodifikasi untuk misi Space Shuttle. Pada tahun 2014 CEO SpaceX, Elon Musk menandatangani kontrak penyewaan situs peluncuran roket legendaris itu untuk jangka waktu 20 tahun.
Era baru penerbangan luar angkasa komersial
Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah perusahaan swasta berlomba mendesain, membangun dan meluncurkan roket buatannya. Perusahaan swasta ini membangun roket untuk mengangkut kargo, meluncurkan satelit atau logistik buat ISS.
Beberapa yang menonjol antara lain SpaceX milik Elon Musk, Blue Origin milik Jeff Bezos, Rocket Lab milik Peter Beck atau juga Boeing. SpaceX yang dikomandani oleh Elon Musk, berada di garda paling depan dalam program ruang angkasa komersial ini.
Kolaborasi NASA dengan SpaceX juga menjadi langkah simbolis berikutnya dari dimulainya era baru penerbangan ruang angkasa komersial. Disebut era baru komersial, sebab NASA juga sudah melibatkan pihak swasta sejak dari jamannya misi Apollo.
Wahana pendarat “Lunar Module“ pada misi bersejarah Apollo 11 misalnya, dibuat oleh kontraktor peralatan pertahanan militer, Grumman. Kolaborasi ini masih terus berlanjut hingga kini.
NASA juga memberikan stimulus lebih 400 juta Dolar kepada sektor swasta, untuk mengembangkan dan membuktikan sistem transportasi manusia ke ruang angkasa yang aman, terjangkau dan efektif dari segi pembiayaan. Dengan program itu, kini NASA mengklaim misinya lebih banyak bergerak di sektor ilmiah.
Terobosan baru teknologi
SpaceX meluncurkan kapsul Crew Dragon yang mampu mengangkut hingga 7 orang astronot dengan roket peluncur Falcon 9, yang sukses dalam ujicoba tahun 2019. Crew Dragon juga mencatatkan sejarah baru, paling tidak dalam tradisi desain interior kapsul ruang angkasa. Interiornya modern, mirip mobil SUV mewah teranyar.
Sejauh ini sejumlah perusahaan juga sudah mengklaim siap meluncurkan kapsul ruang angkasa modern. Boeing juga berkolaborasi denga NASA, menampilkan CST-100 Starliner. Kapsul ini dirancang untuk mengangkut awak atau kargo ke ISS di kawasan orbiter rendah.
NASA juga menjalin kerjasama denga badan antariksa Eropa, ESA mengembangakan kapsul Orion, yang mampu mengangkut 4 astronot. Kapsul Orion dikaitkan dengan proyek Artemis. Artemis adalah misi untuk mendaratkan kembali manusia ke bulan mulai tahun 2024. Orion juga dirancang untuk bisa digunakan dalam misi ke planet Mars.
Ketiga kapsul modern itu punya satu kemiripan, yakni bisa dipakai berulang kali. Jadi setelah diluncurkan, kembali ke bumi dan bisa digunakan lagi untuk misi berikutnya. Penggunaan ulang menjadi pengembangan vital dalam program luar angkasa, yang membuat misi supermahal ini menjadi lebih terjangkau.
sumber: https://www.dw.com/id/misi-spacex-yang-penuh-simbol-baru-kedigdayaan-antariksa-as/a-53598136