REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan ini beredar video dan narasi di media sosial mengenai kecurigaan sejumlah pihak mengenai adanya konspirasi di balik terjadinya Covid-19. Salah satunya pandemi ini bagian dari program senjata biologi rahasia China.
Teori ini menyebut virus corona baru pembunuh berasal dari laboratorium di Wuhan. Teori lainnya diungkap ilmuwan bernama dr Judy Mikovits. Dia mengatakan, pandemi corona dibuat perusahaan farmasi besar. Pengusaha Bill Gates dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dotuduh sebagai biang kerok penyebaran Covid-19.
Benarkah konspirasi memang terjadi? Peneliti virus dari Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dr Rizalinda Syahril mengatakan, belum ada pembuktian mengenai hal ini.
"Saya dan peneliti lain sepakat belum ada bukti yang mendukung konspirasi tersebut. Ada beberapa video dan narasi di Whatsapp yang menyatakan kecurigaan pada konspirasi. Hal ini mungkin bisa terjadi, tapi kita tidak ada bukti," ujar dia di sela diskusi via daring mengenai COvid-19, Kamis.
Rizalinda menuturkan, secara alami virus SARS CoV-2 penyebab Covid-19 mungkin mengalami evolusi sehingga jika virus ini bisa bertahan melawan seleksi alam, maka justru akan menimbulkan penyakit. Virus ini sudah dikenal sejak 1965.
Saat itu, menurut Rizalinda, virus corona menginfeksi mamalia dan burung, lalu memunculkan gejala enteritis pada sapi dan babi, seperti pendarahan, demam, muntah hingga keluarnya cairan, seperti lendir dari rektum. Virus lalu menyebabkan infeksi saluran napas atas pada ayam dan manusia.
"Virus menyebar ke berbagai wilayah, Amerika, Eropa, disebabkan transmisinya tidak dihentikan akhirnya mengenai banyak daerah," kata Rizalinda.
Dari sisi karakteristik, SARS CoV-2 memiliki kecepatan transmisi 2 hingga 3,5 yang berarti dua sampai empat orang akan sakit. Sebab, satu orang yang terinfeksi dengan sifat super spreader artinya mudah sekali menular.
"Virus juga super shedder, ketika ada virus di tubuh orang, virus dikeluarkan dari saluran napas atau lainnya sekalipun tanpa gejala. Sebanyak 12,6 persen penularan terjadi sebelum ada gejala pada pasien sumber. Sekitar dua hingga tiga hari orang sudah bisa sakit sejak bertemu orang sumber infeksi," jelas Rizalinda.
Kemampuan transmisi pra-gejala menjadi alasan mengapa sangat penting melakukan social distancing dan tidak berkumpul di tempat ramai. Rizalinda mengungkapkan, cara penularan virus pun dari orang ke orang lain melalui percikan dari batuk atau bersin, airborne atau tindakan yang memunculkan aerosol, sentuhan fisik, kemudian penularan dari orang tanpa gejala dan dari hewan peliharaan.