REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar keamanan siber dari Communication and Informatian System Security Research Center (CISSReC) Doktor Pratama Persadha menyebutkan ruang siber pada akhirnya menjadi salah satu solusi The New Normal (normal baru). Bahkan peran ruang siber ini sudah ada sejak pembatasan wilayah terkait dengan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
"The New Normal memang menjadi isu yang paling banyak diperbincangkan sejak pembatasan wilayah, apalagi agenda rapat menjadi serba-online," kata Pratama Persadha di Semarang, Rabu (27/5).
Bahkan, kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC ini, jual beli secara daring (online) diperkirakan meningkat seperti disampaikan Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA). Menurut dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini, kegiatan belajar mengajar juga dengan cepat berpindah ke ruang siber.
"Tiba-tiba guru, murid, dan orang tua siswa menjadi akrab dengan aplikasi belajar online dan juga aplikasi video conference. Semua terjadi begitu cepat," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Pratama lantas mengingatkan akan risiko besar, terutama masalah keamanan. Pasalnya, tanpa edukasi yang mendalam, para pegawai, pejabat, orang tua siswa, guru, murid, dan siapa pun berisiko menjadi korban serangan siber, atau menjadi penyebab terjadinya serangan siber.
Istana Negara, misalnya, saat anggota Kabinet Indonesia Maju melakukan rapat daring dari rumah masing-masing, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan dengan matang agar tidak menjadi bulan-bulanan para peretas. Misalnya, menggunakan aplikasi yang aman.
Menurut dia, hal yang paling penting adalah mengamankan jaringan dan perangkat keras yang digunakan. Bila rapat offline atau luar jaringan (luring) di Istana Negara, lingkungan tersebut harus disterilkan dan pengamanan diperketat, atau tidak semua orang boleh masuk.
Menyinggung kembali soal rapat daring, Pratama mengemukakan bahwa setiap menteri atau peserta rapat bersama pimpinan negara menggunakan perangkat dan jaringan internet yang berbeda-beda. Hal ini harus ada pihak yang mengamankan sungguh-sungguh.
"Belum lagi ditakutkan adanya perangkat penyadap di beberapa peserta rapat, ini yang harus sangat diwaspadai," kata Pratama yang pernah sebagai pejabat Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) yang kini menjadi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Hal yang sama juga harus dilakukan oleh orang tua siswa, guru, dan para murid. Masalahnya, proses belajar mengajar kadang menggunakan perangkat lunak video conference.
Pratama lantas bertanya, "Keamanan dan pengamanan siapakah yang memberi arahan kepada mereka? Lalu bagaimana menggunakan internet untuk belajar agar tidak boros sehingga tidak memberatkan para orang tua? Hal-hal semacam ini sampai sekarang belum tersentuh perhatian oleh Pemerintah."
Risiko besar juga dihadapi oleh instansi negara dan swasta. Pada saat para pegawai bekerja dari rumah atau work from home (WFH) dan mengakses sistem kantor dari rumah, apakah perangkat dan jaringan mereka benar-benar aman?
Pratama melanjutkan, "Apakah kantor sudah memfasilitasi virtual private network (VPN) dan perangkat lain untuk pengamanan? Hal semacam ini harus menjadi perhatian."
Pratama berpendapat bahwa The New Normal pada akhirnya selalu terkait dengan berbudaya kehidupan siber. Bagaimana kegiatan di ruang siber dilakukan secara aman dan seminimal mungkin tidak melahirkan risiko serangan siber dan eksploitasi data ilegal.