REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tengah meninjau dampak perubahan iklim terhadap penyebaran Covid-19. Para ilmuwan WHO terus menganalisis pengaruh cuaca yang berubah dengan cepat di seluruh dunia terhadap virus corona jenis baru itu.
"Sementara para ilmuwan kami masih terus mempelajari tentang Covid-19, virus ini telah menunjukkan kemampuan untuk berakselerasi di sejumlah iklim yang berbeda," kata Kepala Unit Penyakit Menular dan Zoonosis WHO, Maria Van Kerkhove.
Pada konferensi pers di markas WHO di Jenewa, Swiss, Rabu (15/4), Kerkhove menjelaskan bahwa pandemi dimulai pada suhu yang sangat dingin, suhu sangat kering, dan kelembapan rendah. Tim WHO terus berusaha menelaah dampak iklim terhadap virus.
China melaporkan kasus corona pertama kepada WHO pada 31 Desember 2019. Saat itu, Cina serta sejumlah negara tengah menghadapi musim dingin. Kini, virus telah menyebar ke hampir semua negara di dunia, menginfeksi lebih dari 2 juta orang di iklim berbeda.
Direktur Eksekutif Program Darurat Kesehatan WHO, Mike Ryan, mengatakan bahwa ada sejumlah penyakit yang peka terhadap iklim. Dia mencontohkan wabah kolera yang terkait dengan banjir atau kekeringan, keberadaan terlalu banyak air atau terlalu sedikit air.
Dia menjelaskan pula bahwa kondisi lingkungan tertentu, seperti kota padat penduduk, dapat meningkatkan risiko penyakit menular. Ryan mencontohkan situasi kepadatan populasi di sejumlah kota besar Pakistan serta New York di Amerika Serikat.
“Sayangnya, dalam banyak hal, populasi itu hampir seperti kayu bakar pada api, dan bukan untuk Covid tetapi juga sejumlah penyakit lainnya," ungkap Ryan, seperti dikutip dari laman CNBC, Kamis (16/4).
Covid-19 sering dibandingkan dengan flu musiman, yang juga membuat jutaan orang sakit setiap tahun. Bulan lalu, para pejabat kesehatan AS memperingatkan bahwa masyarakat di negara mereka perlu berjaga-jaga menghadapi siklus kedua wabah corona.
Virus ini bisa bersifat musiman seperti flu yang melemah dalam kondisi yang lebih hangat, tapi artinya dapat pula kembali mewabah pada musim gugur. Hal tersebut disampaikan Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS Anthony Fauci.
"Saya pikir itu sangat mungkin. Kondisi yang kami lihat di belahan bumi selatan Afrika Selatan dan negara-negara belahan bumi selatan, sejumlah kasus penyakit bermunculan saat memasuki musim dingin," ungkapnya.
Para ilmuwan juga terus mempelajari asal-usul virus. Sebelum ini, peneliti mengatakan corona muncul dari pasar makanan laut di Wuhan, Cina. Ada kemungkinan virus berasal dari kelelawar dan inang perantara lain seperti trenggiling.