Jumat 27 Mar 2020 05:42 WIB

Ilmuwan Terus Teliti Kekebalan terhadap Virus Corona Baru

Antibodi terhadap virus corona dapat menyebabkan flu biasa bertahan 1-3 tahun.

Rep: Puti Almas/ Red: Agus Yulianto
Ilustrasi virus corona dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat.
Foto: CDC via AP, File
Ilustrasi virus corona dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat.

REPUBLIKA.CO.ID,  Jumlah kasus infeksi virus corona jenis baru (COVID-19) di seluruh dunia telah mencapai lebih dari 450 ribu. Dengan pandemi global yang sedang terjadi, tercatat lebih dari 1 miliar orang yang harus tetap berada di tempat tinggal masing-masing, sesuai perintah dari otoritas sejumlah negara demi mengendalikan wabah. 

Dilansir New Zealand Herald, para ilmuwan di situasi saat ini memiliki salah satu pertanyaan yang sangat mendesak, yaitu apakah orang-orang yang sembuh dari COVID-19 kemudian akan menjadi kebal dari virus? Jawabannya adalah ya, namun ada beberapa yang belum diketahui. 

Orang-orang yang dipastikan kebal dapat pergi dari rumah atau tempat tinggal tanpa merasa khawatir. Mereka juga bisa membantu tenaga medis di situasi saat ini, hingga vaksin virus corona jenis baru tersedia. Secara khusus, petugas kesehatan yang diketahui kebal juga dapat terus merawat pasien COVID-19, terutama yang mengalami sakit parah. 

Menumbuhkan kekebalan dalam komunitas juga merupakan salah satu untuk mengakhiri epidemi. Dengan semakin sedikit orang yang terinfeksi, virus corona jenis baru akan secara otomatis kehilangan pijakannya dan bahkan orang-orang yang dianggap paling rentan terhadap infeksi dapat terlindungi dari ancaman penyakit ini. 

Kekebalan juga dapat membawa pengobatan dini. Antibodi yang dikumpulkan dari tubuh mereka yang telah pulih dapat digunakan untuk membantu mereka yang berjuang melawan COVID-19. 

Pada Selasa (24/3) lalu, Food and Drug Administration (Administrasi Makanan dan Obat Amerika) menyetujui penggunaan plasma dari pasien yang pulih untuk mengobati beberapa kasus parah. Sebelumnya Gubernur New York Andrew Cuomo mengumumkan bahwa negara bagian itu akan menjadi yang pertama menguji serum dari orang-orang yang telah pulih dari COVID-19 untuk mengobati mereka yang sakit parah.

"Ini adalah uji coba untuk orang-orang yang berada dalam kondisi serius, tetapi Departemen Kesehatan Negara Bagian New York telah mengerjakan hal ini dengan beberapa agen perawatan kesehatan terbaik dan kami pikir ini menunjukkan harapan,” ujar Cuomo beberapa waktu lalu. 

Garis pertahanan pertama tubuh terhadap virus menular adalah antibodi yang disebut dengan imunoglobulin M. Ini bertugas untuk tetap waspada di dalam tubuh dan mengingatkan seluruh sistem kekebalan tubuh terhadap pengganggu seperti virus dan bakteri.

Berhari-hari dalam infeksi, sistem kekebalan memurnikan antibodi ini menjadi tipe kedua, yang disebut imunoglobulin G. Ini dirancang dengan indah untuk mengenali dan menetralkan virus tertentu.

Proses perbaikan dalam tubuh mungkin memakan waktu hingga satu minggu. Namun, proses dan potensi akhir dari antibodi dapat bervariasi. Beberapa orang mampu membuat antibodi penawar yang kuat terhadap infeksi, sementara lainnya bisa meningkatkan respons yang lebih ringan. 

Sebagai contoh, antibodi yang dihasilkan sebagai respons terhadap infeksi beberapa virus, seperti polio atau campak dapat memberikan kekebalan seumur hidup. Tetapi, antibodi terhadap virus corona dapat menyebabkan flu biasa bertahan satu sampai tiga tahun dan itu berlaku pada virus corona jenis baru yang menjadi pandemi saat ini. 

Virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan infeksi penyakit COVID-19 pertama kali ditemukan di Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei, Cina pada Desember 2019. Sejak saat itu, virus terus menyebar secara global ke berbagai negara lainnya di dunia. 

Menurut data Worldometers, hingga Kamis (26/3) jumlah kasus COVID-19 tercatat mencapai 467.520, dengan 21.174 meninggal dunia dan 113.808 pasien dinyatakan sembuh. Terdapat 198 negara mengkonfirmasi kasus positif infeksi virus corona jenis baru ini

COVID-19 yang berasal dari keluarga virus corona yang sama dengan beberapa wabah lainnya, yaitu SARS (sindrom pernapasan akut parah) dan MERS (sindrom pernapasan Timur Tengah) menjadi lebih mematikan dengan tingkat penyebaran yang cepat. Saat wabah SARS terjadi pada 2002-2003, sebanyak 774 orang meninggal, sementara MERS yang mewabah sejak 2012 tercatat menemewaskan sedikitnya 828 orang. 

Sementara itu, flu yang berasal dari keluarga virus berbeda yang memiliki tingkat kematian sekitar 0,1 persen juga bisa lebih mematikan. Hal itu karena jutaan orang bisa terkena flu setiap tahunnya di seluruh dunia dan menyebabkan jumlah kematian per tahun mencapai ratusan ribu. 

sumber : New Zealand Herald/
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement