Senin 24 Feb 2020 13:59 WIB

Wapres Ungkap Alasan Inovasi Sulit Berkembang di Indonesia

Alokasi terbesar inovasi Indonesia berasal dari APBN, bukan swasta

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Esthi Maharani
Wakil Presiden Maruf Amin saat membuka rapat kerja Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Gedung BPPT, Jakarta, Senin (24/2).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Wakil Presiden Maruf Amin saat membuka rapat kerja Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Gedung BPPT, Jakarta, Senin (24/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengungkap alasan inovasi sulit berkembang di Indonesia. Meskipun sumber dana inovasi di Indonesia cukup besar sebagaimana dilaporkan Global lnnovation Index (GII) tahun 2018 sekitar Rp27 triliun dari sisi anggaran penelitian dan pengembalian, namun Indonesia masih berada berada peringkat ke-85 dari 129 negara di dunia dan peringkat kedua terendah di antara negara-negara di Asia Tenggara.

Hal ini karena alokasi terbesar inovasi Indonesia pembiayaannya lebih besar dari Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dibandingkan swasta. Sedangkan di negara-negara ASEAN yang peringkat inovasinya lebih baik, pembiayaannya didominasi oleh swasta, khususnya industri.

"Alokasi terbesar inovasi didominasi pembiayaannya oleh Pemerintah, sedangkan di negara ASEAN didominasi oleh industri, padahal anggaran Indonesia lebih besar dibanding Filipina yang hanya Rp12 triliun dan Vietnam sekitar Rp24 triliun," ujar Ma'ruf saat hadir membuka rapat kerja Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Gedung BPPT, Jakarta, Senin (24/2).

Selain itu, yang menjadi kendala lainnya, kata Ma'ruf, adalah jumlah peneliti di Indonesia yang masih kurang dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia masih kalah dibandingkan Vietnam yang anggarannya lebih sedikit daripada Indonesia.

"Jumlah peneliti Indonesia hanya 89 orang per juta penduduk, dibandingkan dengan Vietnam jumlah peneliti 673 per juta penduduk," ujar Ma'ruf.

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro yang menyebut Indonesia menghadapi kondisi yang berat dari segi inovasi. Ia mengatakan, Indonesia harus turun peringkat indeks daya saing global (Global Competitiveness Index/GCI) dari rangking 45 ke 50 dari 141 negara.

Penyebabnya, ungkap Bambang, karena peringkat Indonesia untuk innovation capability hanya menduduki urutan ke-74.

"Inilah yang kemudian membuat ranking kita dalam GCI bukannya meningkat, malah menurun dari tahun 2018 dengan ranking 45 menjadi ranking ke-50 di tahun 2019 dan sebagian dari negara-negara ASEAN, terutama ASEAN 5, itu ada di atas Indonesia," ujarnya.

Senada dengan Ma'ruf, Bambang mengungkap alasan inovasi masih terkendala, pertama karena masalah SDM, baik jumlahnya maupun kualitasnya. Saat ini, dari sisi jumlah maupun kualitasnya, peneliti di Indonesia masih belum standar dibandingkan negara maju.

Bambang melanjutkan, selain soal SDM, persoalan inovasi dan riset juga terkendala dengan birokrasi dan kelembagaan riset dan juga sumber anggaran yang lebih banyak dari Pemerintah.

"Jadi PR kita terkait inovasi memang masih merupakan perjalanan panjang dan perjalanan yang tidak mudah," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement