Sabtu 08 Feb 2020 03:54 WIB

Ilmuwan Berlomba Buat Vaksin Virus Corona, Hasilnya?

Ilmuwan di berbagai negara berlomba membuat vaksin untuk menangkal virus corona.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Reiny Dwinanda
Vaksin (Ilustrasi).  Ilmuwan di berbagai negara berlomba membuat vaksin untuk menangkal virus corona.
Foto: gizmodo.com
Vaksin (Ilustrasi). Ilmuwan di berbagai negara berlomba membuat vaksin untuk menangkal virus corona.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wabah pneumonia berat yang ditimbulkan oleh virus corona tipe baru telah membuat para peneliti di seluruh dunia berlomba dengan waktu untuk menemukan formula pencegah infeksinya. Namun, sejauh ini, belum ada yang bisa menjamin kapan vaksin itu akan ditemukan.

Beberapa hari setelah para ilmuwan China berbagi peta genetik virus corona tipe baru, para peneliti di National Institutes of Health (NIH) AS merekayasa bahan utama yang mungkin bisa dikembangkan menjadi vaksin. Mereka berharap bisa mulai mengujinya pada April 2020.

Baca Juga

Para ilmuwan dari Australia hingga Prancis bersama dengan perusahaan bioteknologi dan vaksin juga ikut berjuang dengan berbagai jenis inokulasi. Peneliti Texas menyodorkan vaksin eksperimental yang terlambat mereka kembangkan untuk menghadapi wabah virus corona terdahulu, yakni sindrom pernapasan akut parah (SARS).

Mereka mendesak otoritas AS dan China untuk menjajal vaksinnya dalam usaha membuat orang kebal dari serangan virus corona yang belum memiliki nama resmi itu. Terlebih, virus corona tipe baru ini punya kekerabatan yang cukup dekat dengan pemicu SARS.

"Karena virus baru ini cukup mirip dengan SARS, vaksin itu mungkin saja dapat melindungi," kata ahli dari Baylor College of Medicine dan Texas Children's Hospital, Dr Peter Hotez.

Semua bekerja dengan secepat kilat untuk mencegah semakin meluasnya wabah. Namun, banyak ahli berpendapat, vaksin itu masih membutuhkan waktu satu tahun agar siap digunakan secara luas. Itupun kalau percobaan berjalan mulus. Itupun kalau nanti masih dibutuhkan.

Secara global, lebih dari 31.400 ribu orang terinfeksi dan angka kematiannya naik menjadi 636 orang per Jumat. Mayoritas kasus berada di China, tetapi lebih dari 310 orang yang mengidap penyakit ini dilaporkan berada di lebih dari 27 negara lain.

Untuk saat ini, pejabat kesehatan China mengisolasi mereka yang sakit demi mencegah penyebaran virus yang menyebabkan demam, batuk kering, dan dalam kasus pneumonia yang parah itu. Tanpa perawatan khusus, beberapa dokter juga bereksperimen dengan obat antivirus yang dikembangkan untuk kondisi lain.

“Kami sudah memproduksi vaksin dan bisa digunakan dalam waktu dekat. Tetapi belum ada road map terkait apa yang bisa dilakukan untuk memproduksi vaksin di tengah wabah yang terus menjangkit,” kata Hotez yang sebelumnya telah menemukan vaksin SARS bersama rekannya di Texas Children's, Maria Elena Bottazzi.

Spesialis NIH mengatakan, daripada terus-terusan mengejar wabah, sekarang sudah saatnya untuk mengejar desain prototipe vaksin yang dapat bekerja untuk seluruh jenis virus. Vaksin itu harus siap digunakan jika ada tanda pertama penyakit baru.

“Kami memiliki teknologinya sekarang. Ini cukup layak dari sudut pandang teknik dan biologi. Tanpa langkah itu, kita akan menghadapi risiko pandemi baru,” kata Wakil Direktur National Institute of Allergy and Infectious Disease Vaccine Research Center, Dr Barney Graham.

Produksi vaksin

Secara tradisional, untuk membuat vaksin peneliti memerlukan virus yang dikembangkan di laboratorium dalam jumlah banyak. Tim NIH sedang mengejar metode yang lebih baru dan jauh lebih cepat, yakni cukup dengan menggunakan sepotong kode genetik virus, yang disebut messenger RNA atau mRNA, yang memerintahkan sel untuk membuat protein tertentu.

"Kami menganggap RNA sebagai perangkat lunak kehidupan,” kata Kepala Medis Moderna Inc., Dr Tal Zaks, yang sedang mengembangkan vaksin mRNA untuk penyakit lain dan bekerja dengan NIH sejak munculnya virus corona.

Dengan suntikan yang tepat, maka vaksin akan mengajarkan tubuh untuk membuat obatnya sendiri. Ketika sel hanya menghasilkan protein itu, sistem kekebalan tubuh belajar mengenalinya dan siap menyerang jika seluruh virus datang.

Target serangannya, menurut Zaks, ialah sebuah protein yang dinamai spike yang memungkinkan virus mengikat diri ke sel-sel tubuh. Zaks mempelajari permukaan virus corona, yang mirip dengan virus SARS yang merebak di China pada 2002 dan menyebar ke-26 negara serta mirip dengan MERS atau flu unta yang heboh di Timur Tengah pada 2012.

Fokus tim Graham ialah menumpas RNA yang bertanggung jawab atas produksi spike pada virus baru dan kemudian merekayasa versi yang lebih stabil, karena penelitian sebelumnya menunjukkan protein dapat berubah bentuk.

Moderna tengah memproduksi sampel vaksin mRNA sintetis untuk digunakan NIH dalam penelitian pada hewan. Diharapkan, dalam waktu tiga bulan, fasenya akan berlanjut dengan tes keamanan tahap pertama pada manusia.

Jika pengujian lebih lanjut membuktikan ini benar-benar berfungsi, harapannya adalah para ilmuwan dapat dengan mudah menukar kode spike baru kalau virus corona lainnya muncul.

“Itu penting karena setelah tiga wabah seperti itu dalam waktu kurang dari 20 tahun, ini sepertinya bukan yang terakhir. Dan itu adalah kunci untuk menemukan vaksin dalam strategi mengatasi hal-hal unik dari virus lain,” ungkap salah seorang ahli virus di Vanderbilt University Medical Center, Dr Mark Denison.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement