REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemanfaatan energi surya relatif dinilai masih minim dari total potensi yang tersedia di Indonesia. Sebagai perbandingan, pemanfaatan energi surya di Thailand mencapai 3,2 persen, Vietnam 2,6 persen, sementara Indonesia baru sebesar 0,04 persen.
Hal itu diungkapkan Managing Director Xurya Daya Indonesia Eka Himawan di Jakarta, Ahad (8/12). Xurya Daya adalah perusahaan rintisan (startup) lokal yang bergerak di bidang pemanfaatan energi surya.
"Indonesia masih rendah sekali, baru sebesar 78,5 mega watt (MW) dari total potensi yang ada sebesar 207.898 MW. Sementara di dunia rata-rata pemanfaatannya sebesar 2,6 persen. Jerman yang paling besar di dunia mencapai 14 persen," katanya.
Menurut dia, masih rendahnya pemanfaatan energi surya di dalam negeri salah satunya karena biaya instalasi yang relatif mahal. Hal itu dikarenakan minimnya informasi yang belum tersampaikan ke masyarakat mengenai nilai ekonomi pemasangan teknologi surya dan kebijakan penggunaan energi surya.
"Biaya produksi untuk energi surya yang masih tinggi," ucapnya.
Menurut dia, pengembangan EBT di Indonesia masih terkendala teknologi, investasi dan regulasi yang menyebabkan biaya dan harga jualnya kurang kompetitif sehingga menurunkan minat investor untuk menanamkan modalnya.
"Pemerintah harus banyak lagi menggandeng investor dari luar negeri sehingga akan banyak yang mendanai untuk pembiayaan EBT sehingga harga bisa kompetitif dan bisa murah," katanya.
Eka mengharapkan pemerintah jangan terlalu anti dengan investor asing yang masuk ke dalam negeri. Pasalnya, Indonesia dapat menyerap teknologi yang dibawa oleh investor asing itu.
"Kita jangan terlalu anti-asing, kita lihat negara China, mereka bisa maju karena awalnya dimasuki oleh asing dan mereka menyerap teknologi," katanya.
Kendati demikian, Eka mengakui bahwa pemerintah sudah memberikan ruang untuk mengembangkan EBT melalui sejumlah peraturan, yakni Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang penggunaan sistem PLTS atap oleh pelanggan PT PLN (Persero) mendapat respon positif.
Selain itu, Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2019 tentang kapasitas pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri berdasar izin operasi, dan Permen ESDM Nomor 16 Tahun 2019 tentang biaya kapasitas untuk pelanggan industri.
"Diharapkan Permen itu dapat meningkatkan minat masyarakat, industri, dan bisnis untuk berinvestasi pada energi surya," katanya.