REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Ahli Paleontologi dari Institut Paleontologi dan Paleoantropologi Vertebrata di Beijing berhasil menemukan fosil tikus purba di areal kuburan hewan Jiufotang, Provinsi Liaoning, China. Fosil itu ditemukan dalam bebatuan dari era Cretaceous (rentang waktu 79 juta tahun setelah era kepunahan dinosaurus pada 145 juta tahun lalu).
Tikus itu awalnya hidup berdampingan dengan dinosaurus. Mamalia ini berkembang bersama dinosaurus karena mereka beradaptasi dengan memakan tanaman berbunga, atau angiospermae, yang mulai muncul 140 juta tahun yang lalu. Namun, ketika dinosaurus punah saat asteroid luar angkasa banyak jatuh ke bumi, tikus purba itu berhasil bertahan hidup.
Ahli Paleontologi yang menemukan fosil itu bernama Yuanqing Wang. Fosilnya ditemukan dalam kondisi utuh, bahkan masih terdapat gigi atas dan bawahnya. Menurut Wang, fosil itu tidak bisa disebut tikus raksasa lantaran ukurannya hampir serupa dengan tikus besar hari ini.
Makhluk kecil berbulu itu, kata Wang, bernama Jeholbaatar kielanae. Meski tak besar, tapi Jeholbaatar memiliki satu kekuatan super, yakni pendengaran yang luar biasa. Hal itu diperkirakan dipakai sebagai mekanisme pertahanan diri dari dinosaurus pemangsa yang bergerak cepat pada masa itu seperti Iguanodon, Microraptor, Muttaburrasaurus dan Sauropelta.
"Karena sifat tulang tengah telinga kiri yang terpelihara dengan baik, spesimen ini memperlihatkan konfigurasi unik dengan komponen yang lebih lengkap daripada yang sebelumnya dilaporkan," kata Wang dilansir dari dailystar.co.uk, Kamis (28/11).
Wang mengatakan, meksi bentuknya sangat mirip dengan tikus modern, tapi Jeholbaatar Kielanae adalah cabang evolusi terpisah dengan tikus. Ia adalah salah satu evolusi dari hewan mamalia Multituberculata.
Multituberculata adalah satu-satunya cabang utama mamalia yang telah punah sepenuhnya, dan tidak memiliki keturunan yang hidup. Mereka memiliki sejarah fosil 100 juta tahun. Terpanjang dari semua garis mamalia.