Warta Ekonomi.co.id, Surakarta -- Perubahan iklim benar-benar berdampak buruk. Penelitian terbaru para ilmuwan menemukan fakta, es di Samudra Arktik akan memanas lebih cepat sehingga hal itu akan berdampak pada volume air di lautan.
Sekadar informasi, sebagian besar Samudra Arktik tertutup oleh es sepanjang tahun dan itu meleleh ketika suhu udara di sekitarnya naik (memanas).
"Permukaan air laut yang lebih gelap menyerap lebih banyak sinar matahari daripada es, menyebabkan pemanasan yang lebih besar sehingga timbul pencairan es," jelas Penulis Utama Studi di Institut Lingkungan dan Keberlanjutan UCLA, Chad Thackeray, dikutip dari Tech Explorist, Rabu (27/11/2019).
Baca Juga: Bahaya Abis! Asia Diprediksi Bakal Tenggelam Pada . . ., Indonesia Terendam!!
Penelitian para ilmuwan iklim UCLA itu menunjukkan, es di seluruh lautan akan mencair antara 2044 hingga 2067. Pengamatan satelit mengindikasikan, sejak 1979 jumlah es di Kutub Utara sudah berkurang 13% per dekade.
Bukan cuma ilmuwan UCLA, sejumlah peneliti juga sudah meramal kalau es di Samudra Arktik akan mencari dalam beberapa tahun. "Tergantung pada model iklim global yang akan bereaksi terhadap seluruh karbondioksida yang memasuki atmosfer," imbuh para peneliti.
Sebelumnya, es di samudra itu diprediksi akan mencair seluruhnya pada 2026, ada pula yang menyebutkan itu akan terjadi 2132. Sementara studi baru dari UCLA menyebutkan, hal itu bakal memakan waktu hingga 25 tahun.
Baca Juga: Morrison Bantah Kebijakan Perubahan Iklimnya Penyebab Kebakaran Hutan di Australia
"Es laut Arktik merupakan komponen kunci dari sistem bumi karena sifatnya begitu reflektif, membuat iklim global relatif dingin," imbuh Thackeray.
Para ilmuwan menilai, 23 model penggambaran es musiman antara 1980 dan 2015, lalu membandingkannya dengan pengamatan satelit. Dari situ, mereka mempertahankan enam model terbaik, menangkap hasil historis aktual dan membuang bukti yang tak masuk akal guna mempersempit prediksi mencairnya es di Kutub Utara.
“Perubahan yang akan datang akan memiliki implikasi lingkungan, ekologi, dan ekonomi yang luas. Dengan mengurangi ketidakpastian ketika kita akan melihat perubahan itu, kita bisa lebih siap," pungkasnya.
Studi ini diterbitkan dalam Nature Climate Change.