REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ilmuan Albert Einsten terkenal dengan ekspresinya yang disebut sebagai, aksi seram dari kejauhan. Hal tersebut rupanya mengacu pada keterikatan kuantum, yaitu sebuah fenomena yang terlihat pada skala paling mikro.
Lebih jauh, layaknya kuantum yang yang tak terlihat, kemajuan mesin juga tampaknya memiliki kemajuan yang sulit ditebak. Bahkan ilmuan sendiri seakan tidak melihatnya ataupun tidak mengerti bagaimana hal tersebut bekerja.
Berdasarkan keterangan New Scientist, ekspresi dari Albert Einstein itu juga merupakan studi baru bagi pasien jantung saat ini. Pasalnya, algoritma dalam pembelajaran mesin, dianggap mampu memberi kemungkinan siapa yang paling dekat dengan kematian dalam satu tahun terakhir, berdasarkan hasil echocardiogram (ECG).
Hal tersebut terlaksana karena ahli jantung menilai bahwa, algoritma dapat melakukan langkah yang lebih baik untuk mendeteksinya dari pada langkah tradisional lainnya. Studi tersebut dilakukan oleh para peneliti di kelompok perawatan kesehatan regional Geisinger Pennsylvania.
Lebih lanjut, menurut para peneliti itu, banyak pembelajaran yang melibatkan mesin untuk melakukan pengumpanan data kompleks ke dalam komputer. Hal itu dilakukan untuk memeriksanya dengan lebih cermat.
Mereka juga beranggapan, bahwa upaya itu dianalogikan dengan kalkulus, di mana jika penalaran manusia adalah jumlah dari Riemann, maka pembelajaran mesin menjadi integral yang dihasilkan dari Riemann yang mendekati tak terhingga.
Dalam studi itu disebut juga, bahwa dokter memang bisa melakukan yang terbaik. Namun demikian, algoritma EKG dapat menemukan fakta dalam data. Sebab, didasarkan pada pembelajaran algoritma.
"AI secara akurat memperkirakan risiko kematian, bahkan pada orang yang dianggap ahli jantung memiliki EKG normal," lapor New Scientist seperti dilansir popularmechanics, Rabu (13/11).
Kecerdasan buatan (Ilustrasi)
Dalam prosesnya, untuk meniru pengambilan keputusan ahli jantung, tim peneliti Geisinger membuat algoritma pararel dari berbagai faktor yang digunakan ahli jantung dalam menghitung risiko. Dalam pengakuannya, hal tersebut tidak praktis untuk merekam semua.
Akan tetapi sambungnya, tingkat granularitas dapat menunjukkan bahwa ahli jantung lebih mampu memprediksi hasil yang buruk daripada yang ditunjukkan oleh algoritma.
Lebih lanjut, dalam prosesnya pakar pembelajaran mesin itu, menggunakan metrik yang disebut area di bawah kurva (AUC), untuk mengukur seberapa baik algoritma mereka dapat mengurutkan orang ke dalam kelompok yang berbeda. Di mana, para peneliti kemudian memprogram algoritma untuk memutuskan, orang mana yang akan bertahan hidup dan orang mana yang akan meninggal tahun tersebut.
Keberhasilan dari kegiatan itu diukur dalam berapa banyak orang yang telah dikelompokan dengan benar. Didasari hal tersebut, menjadi sebab mengapa masa depan dinilai rumit dan berdampak pada pengobatan. Dalam prosesnya, algoritma memang menunjukkan peningkatan, dengan mengukuhkan angka 85 persen terhadap tingkat keberhasilan kalkulus tradisional yang hanya mencapai 65 hingga 80 persen.
Namun demikian, kumpulan data itu ditutup, sehingga dalam prosesnya para ilmuan bisa langsung membandingkan hasil yang mereka dapat dengan hasil tertentu lainnya. Ada perbedaan memang, di mana dalam istilah kedokteran itu merupakan hal etis.
Sebab, ada kesinambungan antara mempelajari data tertutup dan menggunakan mekanisme misterius. Yang memang tidak dipelajari untuk mengubah cara memperlakukan pasien akhir-akhir ini.
Nyatanya hingga kini, penelitian medis memang masih menghadapi rintangan etis yang sama di seluruh dunia. Hambatan ini menjadi tantangan dan sekaligus perbedaan, mengenai bagaimana studi masa depan akan mengejar hasil penelitian ini.