REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hadirnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi sebuah manfaat bagi masyarakat untuk mengembangkan sesuatu hal terakit dengan produktivitas. Sayangnya, menurut riset yang dilakukan oleh Center for Digital Society dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, masyarakat pedesaan masih belum melihat manfaat dari adanya TIK, dalam hal ini adalah gawai.
“Ketika kami elaborasi lebih lanjut mengunakan model penerimaan teknologi, ternyata ada dua hal yang sangat berperan dalam adopsi teknologi bagi masyarakat,” ungkap Sekretaris Eksekutif CfDS UGM, Dewa Ayu Diah Angendari dalam acara peluncuran hasil riset dengan PT Amartha Mikro Fintek atau Amartha, di wilayah Jakarta Selatan, Rabu (6/11).
Dua hal itu, lanjut dia adalah, pertama, persepsi mereka atas manfaat yang diberikan oleh teknologi. Dan yang kedua, adalah persepsi masyarakat atas kemudahan menggunakan teknologi itu sendiri.
Dia banyak menemukan respondennya yang merupakan perempuan yang tinggal di pedesaan yang sehari-harinya memiliki kegiatan yang sangat produktif untuk mendapatkan pendapatan. Artinya, banyak dari mereka yang merasa bahwa dengan belajar menggunakan ponsel dan belajar menggunakan internet tidak memberikan manfaat yang lebih, ketika mereka harus meninggalkan pekerjaan mereka.
Lalu, masyarakat di pedesaan tak melihat adanya kemudahan dalam menggunakan ponsel. Menurut responden yang diwawancarai oleh Diah dan timnya, banyak dari mereka yang merasa bahwa menggunakan ponsel itu sulit.
“Banyak dari mereka yang mengatakan, pakai hape itu ribet, saya harus belajar tombolnya ada banyak. Ada juga yang takut kalau salah pencet, dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti menelepon seseorang nanti akan menjadi masalah lagi, misalnya,” ungkap Diah.
Kemudian, ada satu hal yang menjadi tambahan persepsi alasan masyarakat pedesaan tak ingin menggunakan gawai, adalah ketiadaan waktu untuk menggunakan gawai itu sendiri. Sebab, bila mereka belajar menggunakan gawai, maka mereka harus mengorbankan waktu mereka yang berharga setiap hari.
Meskipun perempuan di pedesaan terlihat memiliki jam kerja yang lebih fleksibel untuk menghasilkan pendapatan setiap harinya, namun hal itu justru berarti mereka harus bisa belajar kapan pun. Mulai dari mereka bangun, sampai di malam hari, bahkan saat anak-anaknya sudah tidur.
“Kapanpun mereka punya waktu yang luang, mereka akan berusaha memanfaatkan waktu tersebut untuk melakukan sesuatu yang produktif. Sehingga, mereka merasa tak membutuhkan gawai atau teknologi,” jelas Diah.
Oleh sebab itu, Amartha, yang merupakan finansial teknologi, memiliki peran tersendiri dalam memanfaatkan teknologi, baik gawai maupun internet kepada para perempuan di pedesaan. Diah menyebut hal ini menjadi tantangan dan kesempatan bagi Amartha, selain bisa memberdayakan ekonomi perempuan pedesaan, juga bisa memberikan literasi digital kepada mereka.