Jumat 01 Nov 2019 18:36 WIB

Obat Semprot Asma Punya Emisi Karbon Tinggi, Apa Daya?

Pengidap asma tak bisa sembarang meninggalkan obat semprotnya.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Reiny Dwinanda
Bronkodilator, obat untuk mengatasi penyakit asma.
Foto: ABC
Bronkodilator, obat untuk mengatasi penyakit asma.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Emisi karbon dalam obat asma ternyata masih sangat tinggi. Oleh sebab itu, para peneliti dari Inggris menyarankan agar para pengidap asma beralih ke obat semprot yang lebih ramah lingkungan.

Para peneliti itu menuturkan, beberapa inhaler dapat melepaskan gas rumah kaca yang terkait dengan pemanasan global. Mereka juga beranggapan bahwa, dengan melakukan peralihan tersebut, dampak lingkungannya sangat besar ke depannya, bagi para pengidap ataupun lingkungan.

Baca Juga

Peneliti utama Dr Alex Wilkinson mengatakan, gas-gas dalam tabung inhaler, merupakan gas rumah kaca yang sangat kuat. Pemakaian obat semprot itu dapat berkontribusi secara signifikan pada jejak karbon, terlebih jika menggunakannya satu atau dua inhaler dalam sebulan.

"Maka itu dapat benar-benar menambah hingga ratusan, dari kilo karbon dioksida yang setara selama satu tahun," ujar dia seperti dilansir BBC, Kamis (31/10).

Menurut dia, dengan beralih pada obat yang ramah lingkungan, efek yang dihasilkan akan sama dengan orang yang beralih menjadi vegan, di mana berbagai peningkatan kualitas didapatkan. Namun demikian, menurut dia, dokter dan pasien harus mempertimbangkan penukaran alternatif yang ramah lingkungan jika memungkinkan.

Singkatnya, penderita asma juga harus mempelajari teknik berbeda ketika mengganti inhaler. Hal tersebut juga disarankan secara total oleh tim dari Universitas Cambridge, yakni pasien harus memeriksakan diri ke dokter sebelum penggantian obat.

Pasalnya, ada beberapa pasien yang tidak bisa berganti atau tidak boleh beralih sama sekali. Di Inggris, saat ini ada setidaknya sekitar lima juta orang yang mengidap asma. Pada tingkat individu, setiap obat hirup dengan dosis terukur dan diganti dengan inhaler bubuk kering, dapat menghemat setara dengan 150 kg dan 400 kg karbon dioksida per tahun.

Muncul berbagai pertanyaan, apakah inhaler tetap dapat digunakan. Menanggapi hal tersebut, ada penelitian terkait dampak yang dihasilkan, dari setiap inhaler yang diresepkan bagi pasien di NHS Inggris.

Pada 2017, sekitar 50 juta inhaler diresepkan. Tujuh dari 10 orang mendapatkan inhaler dosis terukur, dengan jenis yang mengandung gas rumah kaca, yaitu gas hydrofluoroalkane yang digunakan sebagai propelan untuk menyemprotkan obat keluar dari inhaler.

Menurut para ahli, inhaler dosis terukur dapat menyumbang hampir empat persen dari emisi gas rumah kaca. Para peneliti juga memperkirakan, mengganti satu dari setiap 10 inhaler dengan jenis yang lebih ramah lingkungan (inhaler serbuk kering) akan mengurangi emisi setara karbon dioksida sebesar 58 kiloton.

Jumlah tersebut sama dengan jejak karbon dari 180 ribu perjalanan mobil dari London ke Edinburgh. Para ahli juga mengklaim, orang yang perlu menggunakan inhaler dosis terukur, memang harus terus menggunakannya.

Sementara itu, National Institute for Health and Care Excelence (NICE) mengatakan, peralihan inhaler yang berbeda mungkin akan menjadi lebih rumit bagi penderita asma. Sebab, ada teknik penggunaan baru yang harus dilakukan dengan bantuan dokter serta perawat.

NICE juga beranggapan telah membuat alat bantu bagi bagi pasien untuk memutuskan pengambilan keputusan. Terpisah, Kepala Penasihat Kesehatan Asma Inggris, Jessica Kirby, mengatakan bahwa penggunaan inhaler sesuai resep memang sangat penting. Namun demikian, jika tetap ada kekhawatiran, terkait dampak lingkungan, pasien disarankan untuk membicarakannya dengan dokter atau perawat asma.

"Hal tersebut dilakukan untuk melihat, apakah ada jenis inhaler lain yang cocok untuk Anda," ungkap Kirby.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement