Senin 28 Oct 2019 06:45 WIB

Keterampilan Manusia Masih Penting di Tempat Kerja

Meski diminati untuk pekerjaan hard skill, robot tidak akan ambil alih soft skill.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Ratna Puspita
Teknologi robot di Hotel Masa Depan
Foto: Republika TV/Indira Rezkisari
Teknologi robot di Hotel Masa Depan

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Studi baru dari perusahaan pengembangan eksekutif Future Workplace dalam kemitraan dengan Oracle mengungkapkan kecerdasan buatan (AI) atau robot akan semakin masif digunakan di kantor. Namun, kemungkinan tenaga manusia masih diperlukan.

Future Workplace menemukan lonjakan 18 persen dari tahun lalu dalam jumlah pekerja yang menggunakan AI dalam beberapa aspek pekerjaan mereka. Angka tersebut sudah mewakili lebih dari setengah yang disurvei.

Baca Juga

Direktur penelitian di Future Workplace dan penulis buku terlaris “Back to Human”, Dan Schwabel, mengungkapkan temuan utama penelitian dan masa depan pekerjaan. Menurutnya, manajer memiliki soft skill yang tidak dipunyai oleh robot, seperti memahami perasaan karyawan, melatih karyawan, dan menciptakan budaya kerja.Hal-hal tersebut sulit diukur, tetapi mempengaruhi hari kerja seseorang.

Selanjutnya robot memiliki hard skill lebih baik, seperti memberikan informasi yang tidak memihak, mempertahankan jadwal kerja, memecahkan masalah, dan mempertahankan anggaran. Kendati demikian, Schwabel tidak melihat AI akan mengambil alih soft skill.

“Saya pikir masa depan pekerjaan adalah SDM akan mengelola tenaga kerja manusia, sedangkan teknologi informasi akan mengelola tenaga kerja robot. Tidak ada keraguan manusia dan robot aaan bekerja berdampingan,” ujar Schwabel, seperti yang dilansir dari Reuters, Ahad (27/10).

Terkait mempersiapkan generasi berikutnya untuk bekerja bersama AI, Schwabel berpikir teknologi membuat orang lebih antisosial ketika mereka mendapatkannya lebih awal. Namun, permintaan saat ini adalah banyak otomatisasi hard skill.

“Jadi pada akhirnya ketika hard skill terotomatisasi dan soft skill lebih diminati, generasi berikutnya berada dalam masalah besar,” katanya.

Bagi Schwabel sangat mungkin mental manajer akan terkuras karena hanya ada tugas-tugas sulit yang tersisa untuk dilakukan. Contohnya, Schwabel selalu melakukan tugas-tugas  yang paling membutuhkan pemikiran di awal hari.

Setelah pukul 5 atau 6, Schwabel lelah secara mental. Namun jika tugas adminsitratif dikerjakan otomatis, hari kerja menjadi terkonsolidasi.

“Itu membebaskan pekerja untuk melakukan lebih banyak hal pribadi. Kita harus melihat hari kerja kita menjadi lebih pendek jika AI menghilang tugas-tugas itu. Jika tidak, budaya burnout akan meningkat secara dramatis,” ujarnya.

Semakin banyak vendor teknologi yang memungkinkan perusahaan memantau penggunaan komputer oleh karyawan. Hal ini dilihat sebagai masalah besar karena manusia tidak akan bisa fokus selama delapan jam sehari. Itu akan mempercepat epidemi burnout manusia.

Sisi lain, Scawabel menuturkan India, Cina, dan Singapura merupakan negara yang paling banyak menggunakan AI. Negara-negara yang mendapatkan lebih banyak kekuatan dan keunggulan, kata Schwabel, menggunakan AI di tempat kerja.

Terakhir, ia mencontohkan bagaimana AI mengubah praktek perekrutan. Ini terjadi di perusahaan Unilever.

Proses perekrutan level pertama mereka menggunakan AI. Pelamar melakukan wawancara video dan AI mengumpulkan data dan mencocokkannya dengan karyawan yang sukses. Setelahnya para kandidat menghabiskan satu hari di Unilever melakukan wawancara dan sebagian mendapatkan tawaran pekerjaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement