REPUBLIKA.CO.ID, MASSACHUSETTS -- Para ilmuwan di bidang komputer dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT) di Amerika Serikat (AS) berharap agar penggunaan kecerdasan buatan untuk tujuan meningkatkan pengambilan keputusan medis dapat dipercepat. Salah satu caranya adalah dengan mengotomatiskan langkah kunci yang biasanya dilakukan dengan tangan dan dinilai cenderung melelahkan.
Bidang analitik prediktif semakin menjanjikan untuk membantu dokter mendiagnosis dan merawat pasien. Model pembelajaran mesin dapat dilatih untuk menemukan pola dalam data pasien untuk membantu dalam perawatan sepsis. Termasuk beberapa contoh diantaranya adalah merancang rejimen kemoterapi yang lebih aman dan memprediksi risiko pasien mengalami kanker payudara atau mereka yang dalam kondisi kritis di ICU.
Biasanya, set data berisikan sejumlah subjek, namun dalam jumlah data yang relatif sedikit. Karena itu, para ahli harus menemukan aspek-aspek atau fitur dalam set data tersebut, yang akan penting untuk membuat prediksi.
Rekayasa fitur itulah yang membuat proses menuju penentuan prediksi cenderung melelahkan dan mahal. Namun, tentunya ini menjadi lebih menantang dengan munculnya sensor yang dapat dipakai, karena para peneliti dapat lebih mudah memantau biometrik pasien dalam jangka waktu lama, hingga melacak pola tidur, gaya berjalan, dan aktivitas suara.
Setelah pemantauan dilakukan dalam satu pekan, para ahli dapat memiliki hingga milaran sampel data untuk setiap subjek. Dalam sebuah makalah yang dipresentasikan pada konferensi Machine Learning for Healthcare pada akhir pekan lalu, ilmuwan MIT mendemonstrasikan sebuah model yang secara otomatis mempelajari fitur-fitur yang dapat memprediksi gangguan pita suara.
Fitur-fitur tersebut berasal dari dataset sekitar 100 subjek, masing-masing dengan data pemantauan suara sekitar satu pekan dan beberapa miliar sampel. Dengan kata lain, sejumlah kecil subjek dan sejumlah besar data per subjek. Dataset berisi sinyal diambil dari sensor accelerometer kecil yang dipasang di leher subjek.
Dalam percobaan, model menggunakan fitur yang secara otomatis diekstraksi dari data ini untuk mengklasifikasikan, dengan akurasi tinggi, pasien dengan dan tanpa nodul pita suara. Ini adalah lesi yang berkembang di laring, sering karena pola penyalahgunaan suara seperti menyanyikan lagu atau berteriak. Salah satu hal yang paling penting adalah model menyelesaikan tugas ini tanpa satu set besar data berlabel tangan.
“Semakin mudah untuk mengumpulkan dataset seri waktu yang lama. Tetapi Anda memiliki dokter yang perlu menerapkan pengetahuan mereka untuk memberi label pada dataset,” kata penulis utama penelitian, Jose Javier Gonzalez Ortiz yang merupakan seorang mahasiswa doktoral di Laboratorium Ilmu Komputer dan Kecerdasan Buatan (CSAIL) MIT.
Menurut Ortiz, para ilmuwan ingin menghapus bagian manual dan menurunkan semua rekayasa fitur ke model pembelajaran mesin. Model dapat diadaptasi untuk mempelajari pola penyakit atau kondisi apa pun.
Tetapi, kemampuan untuk mendeteksi pola penggunaan suara harian yang terkait dengan nodul pita suara merupakan langkah penting dalam mengembangkan metode yang ditingkatkan untuk mencegah, mendiagnosis, dan mengobati gangguan tersebut. Bahkan ini dirancang untuk mengidentifikasi dan mengingatkan orang akan perilaku vokal yang berpotensi merusak.
Selama bertahun-tahun, para peneliti MIT telah bekerja dengan Pusat Bedah Laring dan Rehabilitasi Suara untuk mengembangkan dan menganalisis data dari sensor untuk melacak penggunaan suara subjek selama semua jam bangun. Sensor ini adalah accelerometer dengan simpul yang menempel di leher dan terhubung ke ponsel pintar (smartphone) Saat orang tersebut berbicara, smartphone mengumpulkan data dari perpindahan di accelerometer.
Para peneliti mengumpulkan data ini selama pekan, yang disebut data "time-series”. Dari 104 subjek, setengahnya didiagnosis dengan nodul pita suara. Untuk setiap pasien, ada juga kontrol yang cocok, yang berarti subjek sehat dengan usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan faktor lain yang serupa.
Secara tradisional, para ahli perlu mengidentifikasi secara manual fitur yang mungkin berguna bagi model untuk mendeteksi berbagai penyakit atau kondisi. Ini membantu mencegah masalah pembelajaran mesin yang umum dalam perawatan kesehatan yaitu overfitting.
Saat itulah, dalam pelatihan, model ‘menghafal’ data subjek hanya mempelajari fitur yang relevan secara klinis. Dalam pengujian, model-model tersebut sering gagal membedakan pola yang sama pada subjek yang sebelumnya tidak terlihat.
“Alih-alih mempelajari fitur yang signifikan secara klinis, model melihat pola dan berkata, ‘Ini Sarah, dan saya tahu Sarah sehat, dan ini Peter, yang memiliki nodul pita suara.' Jadi, itu hanya menghafal pola subjek. Itu tak dapat mengetahui apakah pola-pola tersebut sesuai dengan klasifikasi,” jelas Ortiz seperti dilansir Scitech Daily.
Tantangan utama, kemudian, adalah mencegah overfitting saat mengotomatisasi rekayasa fitur manual. Untuk itu, para peneliti memaksa model untuk mempelajari fitur tanpa informasi subjek. Untuk tugas mereka, itu berarti menangkap semua momen ketika subyek berbicara dan intensitas suara mereka.
Selanjutnya, para peneliti ingin memantau bagaimana berbagai perawatan. Seperti diantaranya adalah operasi dan terapi vokal, hingga dampak perilaku vokal.
Jika perilaku pasien berubah dari abnormal ke normal seiring waktu, mereka kemungkinan besar akan membaik. Para peneliti juga berharap untuk menggunakan teknik serupa pada data elektrokardiogram, yang digunakan untuk melacak fungsi otot jantung.