REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan China melakukan lompatan besar untuk program luar angkasa mereka. Dengan dukungan dari pemerintah China, para ilmuwan dari negeri dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu merencanakan untuk menjelajah bulan dalam satu dekade dengan menggunakan robot.
China memang menunjukkan ambisinya dalam program luar angkasa mereka. Pada 20 Juli 1969 silam, astronaut Amerika Neil Armstrong meninggalkan jejak kaki manusia pertama di bulan.
Kala itu, China adalah salah satu negara termiskin di Bumi. Sebagian besar warganya tidak mampu membeli sepeda dan para ilmuwannya bekerja di pertanian, jauh dari laboratorium mereka. Namun Negeri Tirai Bambu itu melakukan Revolusi Kebudayaan.
Lima puluh tahun kemudian, Yutu 2 atau dikenal sebagai Jade Rabit, robot penjelajah dari China mendarat di sisi jauh bulan untuk menjelajah dunia yang tidak bisa dijangkau oleh negara lain. Robot ini menggunakan kecerdasan buatan dan teknologi telekomunikasi negara tersebut.
Menurut sebuah makalah kebijakan yang diterbitkan pada Jumat di US Journal Science, stasiun China yang sepenuhnya dioerasikan oleh mesin menggunakan kecerdasan buatan akan naik dan berjalan di bulan pada 2030.
Makalah tersebut ditulis oleh para ilmuwan utama dari tim ekspedisi lunar pemerintah China dalam rangka memperingati 50 tahun pendaratan bulan Apollo. Makalah tersebut menguraikan tantangan tekis eksplorasi bulan di masa depan dan merinci bagaimana China akan menyelesaikan masalah tersebut dengan pendekatan pragmatis.
Menurut jurnal tersebut, astronaut China yang ingin pergi ke bulan mungkin harus menunggu hingga setelah 2030. Karena ketika itu, teknologi robot telah cukup matang untuk mendukung peningkatan pangkalan bulan ke habitat yang layak huni. Bahkan setelah itu, para ilmuwan Cina memperkirakan manusia akan tetap menjadi pendamping bagi mesin-mesin tersebut.
"Atas dasar faktor-faktor seperti pengembangan teknologi, peluncuran pemilihan kendaraan, keterjangkauan ekonomi dan rasio efektivitas biaya, eksplorasi robot akan tetap menjadi arah pengembangan utama dari misi eksplorasi bulan berikutnya (di luar 2030)," demikian dikatakan dalam makalah tersebut, seperti dilansir di South China Morning Post, Sabtu (20/7).
Dalam beberapa tahun, beberapa ilmuwan ruang angkasa mengatakan China akan menyelesaikan pembangunan stasiun ruang angkasa berukuran penuh di orbit bawah Bumi. Stasiun ruang angkasa itu akan diawaki oleh para astronot dan berfungsi sebagai stasiun transit ke pendaratan robot di bulan.
Li Chunlai, direktur penelitian tanah dan sistem aplikasi untuk Program Eksplorasi Lunar China (juga dikenal sebagai Proyek Chang'e setelah dewi bulan China), dan rekan-rekannya menulis dalam makalah mereka untuk Science, bahwa robot-robot China akan melakukan belbagai macam tugas dalam empat misi yang direncanakan untuk 10 tahun ke depan.
Salah satu prioritasnya, adalah pemisahan dan ekstraksi helium, sebuah elemen gas inert yang jarang ada di Bumi tetapi melimpah di tanah bulan. Helium memiliki banyak penggunaan yang penting, dari mulai perangkat pencitraan resonansi magnetik di rumah sakit hingga terowongan angin hipersonik di fasilitas penelitian militer.
Beberapa isotop helium juga dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk reaktor nuklir fusi, yang dapat menyediakan sumber energi bersih yang tidak terbatas di masa depan. Amerika Serikat saat ini memproduksi lebih dari 80 persen helium dunia.
Namun, helium dari AS dikenai pengawasan ekspor yang ketat. Bagi China, pasokan helium alternatif saja dapat membantu membenarkan biaya eksplorasi bulan.
Selain itu, robot-robot tersebut juga akan berfungsi untuk menguji teori teknik sipil. Seperti halnya potensi untuk mencairkan debu bulan menggunakan sinar matahari untuk membuat bahan konstruksi yang fleksibel dan tahan lama seperti beton. Bahan konstruksi tersebut biasanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur skala besar dengan bantuan teknologi cetak 3D.
Menurut Li dan rekan-rekannya, banyak negara termasuk Rusia, Jerman, Swedia, Belanda, Turki, Ethiopia dan Pakistan, telah secara resmi bergabung dengan program lunar China. Menurut mereka, pintu kolaborasi tetap terbuka bagi AS.
"China juga terbuka untuk kerja sama dengan NASA tentang eksplorasi bulan. Kedua belah pihak dapat mulai bekerja sama dalam aspek-aspek seperti pertukaran data ilmiah dan informasi kesadaran situasional ruang angkasa," kata para ilmuwan dalam makalah tersebut.
Mereka mengatakan, China juga berharap bisa mengeksplorasi lebih banyak peluang untuk bekerja sama dengan NASA dalam rangka melestarikan lingkungan luar angkasa bagi generasi mendatang. Chen Hongqiao, associate professor untuk Studi Asing di Universitas Guangdong di Guangzhou, Cina selatan, mengatakan kolaborasi di ruang angkasa dengan AS tetap menjadi keinginan China di satu sisi. Menurutnya, AS telah menandai China sebagai pesaing strategis. Dengan demikian, itu akan memaksa China untuk bersaing di semua lini.
"Alih-alih melibatkan AS di semua bidang ini, China bisa memilih perjuangannya," kata Chen.
Baru-baru ini, AS meluncurkan Artemis, sebuah program yang dimaksudkan untuk mengirim orang Amerika kembali ke bulan pada 2024. Namun, rencana AS yang melibatkan pembangunan stasiun ruang angkasa besar yang mengorbit bulan dan armada baru roket besar yang berat itu belum ada hingga saat ini.
Tetapi, NASA memperkirakan semua tujuan ini dapat dicapai, tidak hanya dengan tenggat waktu yang singkat tetapi dengan anggaran tidak lebih dari 30 miliar dolar AS atau kurang dari sepertiga dari biaya misi Apollo dalam dolar hari ini.
Seorang ilmuwan ruang angkasa senior di Beijing, yang meminta untuk tetap anonim, mengatakan program Artemis dianggap oleh beberapa ahli di China sebagai 'umpan' oleh Washington untuk membuat China terlibat dalam perlombaan ruang angkasa yang baru. Akan tetapi, mereka menegaskan bahwa China 'tidak bodoh'.
"Kami punya rencana kami sendiri. Apa yang orang Amerika katakan atau lakukan akan berdampak pada opini publik, tetapi itu tidak akan mengubah langkah kita. Kami tidak akan berpartisipasi dalam perlombaan head-to-head ke bulan. Kami bukan Soviet," kata peneliti pemerintah di Beijing.