Senin 13 May 2019 12:45 WIB

Limbah Plastik Bahaya Dilarang Dikirim ke Negara Berkembang

Limbah plastik berbahaya kini dilarang dikirim ke negara nerkembang

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Christiyaningsih
Peneliti memisahkan sampah plastik dari perut paus yang terdampar di Taman Nasional Wakatobi, di Sulawesi Tenggara. Temuan plastik dalam perut paus membuat dunia semakin khawatir dengan limbah plastik di laut.
Foto: AKKP Wakatobi via AP
Peneliti memisahkan sampah plastik dari perut paus yang terdampar di Taman Nasional Wakatobi, di Sulawesi Tenggara. Temuan plastik dalam perut paus membuat dunia semakin khawatir dengan limbah plastik di laut.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Hampir semua negara di dunia telah menyetujui kesepakatan yang bertujuan membatasi pengiriman limbah plastik yang sulit didaur ulang ke negara-negara miskin. PBB mengumumkan pada pekan lalu bahwa negara-negara pengekspor, termasuk AS, sekarang harus mendapatkan persetujuan dari negara-negara yang menerima limbah plastik yang terkontaminasi, campuran, atau tidak dapat didaur ulang.

Saat ini, AS dan negara-negara lain dapat mengirim limbah plastik berkualitas rendah ke entitas swasta di negara-negara berkembang tanpa mendapatkan persetujuan dari pemerintah mereka. Sejak Cina berhenti menerima daur ulang dari AS, para aktivis mengatakan mereka telah mengamati sampah plastik yang menumpuk di negara-negara berkembang.

Baca Juga

Aliansi Global untuk Insinerator Alternatif (Gaia), pendukung kesepakatan itu, mengatakan pihaknya menemukan desa-desa di Indonesia, Thailand, dan Malaysia yang telah berubah menjadi tempat pembuangan sampah selama setahun. "Kami menemukan ada limbah dari AS yang baru saja menumpuk di desa-desa di seluruh negara ini yang dulunya merupakan komunitas pertanian," kata Claire Arkin, juru bicara Gaia dilansir Guardian akhir pekan kemarin.

Kerangka kerja yang mengikat secara hukum tersebut muncul pada akhir pertemuan dua pekan dari konvensi yang didukung PBB tentang limbah plastik dan bahan kimia berbahaya. Pakta tersebut datang dalam suatu amandemen pada konvensi Basel.

AS bukan merupakan pihak pada konvensi itu sehingga tidak memiliki hak suara. Tetapi para peserta pertemuan mengatakan negara itu menentang perubahan tersebut. Mereka mengatakan para pejabat tidak memahami dampak yang akan ditimbulkannya pada perdagangan limbah plastik.

Sampah plastik mengotori tanah yang masih asli, mengapung dalam jumlah besar di lautan, dan menjerat serta membahayakan satwa liar. Plastik yang tidak bernilai dan sulit untuk didaur ulang cenderung berakhir dibuang daripada berubah menjadi produk baru. Kesepakatan itu memengaruhi produk-produk yang digunakan dalam beragam industri seperti layanan kesehatan, teknologi, aerospace, fesyen, serta makanan dan minuman.

Rolph Payet dari Program Lingkungan PBB menyebut perjanjian yang ditandatangani oleh 187 negara di Jenewa, Swiss di bawah konvensi merupakan hal yang bersejarah. Negara-negara harus memantau ke mana sampah plastik mengalir ketika meninggalkan perbatasan mereka. Payet mengatakan negosiasi, yang dimulai 11 hari yang lalu dan mengumpulkan 1.400 delegasi, telah melangkah lebih jauh dari yang diperkirakan.

Dia membandingkan polusi plastik dengan epidemi. "Diperkirakan 100 juta ton plastik sekarang ditemukan di lautan, 80 hingga 90 persen di antaranya berasal dari sumber-sumber berbasis darat," katanya.

Konvensi Basel menetapkan aturan untuk negara-negara dunia pertama yang mengirimkan limbah berbahaya ke negara-negara yang kurang kaya. Pendukung mengatakan amandemen akan membuat perdagangan global sampah plastik lebih transparan dan diatur dengan lebih baik, melindungi manusia dan lingkungan.

AS dan negara-negara lain sekarang tidak akan dapat mengirim limbah plastik ke negara-negara berkembang yang merupakan bagian dari konvensi Basel dan bukan bagian dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan. "Langkah penting pertama untuk menghentikan penggunaan negara-negara berkembang sebagai tempat pembuangan sampah plastik dunia, terutama yang berasal dari negara-negara kaya," kata Von Hernandez, koordinator global untuk Break Free from Plastic.

Marco Lambertini, direktur jenderal badan amal lingkungan dan hidupan liar WWF International, mengatakan perjanjian itu merupakan langkah yang disambut baik dan bahwa terlalu lama negara-negara kaya telah melepaskan tanggung jawab atas sejumlah besar limbah plastik. “Namun itu hanya sebagian saja. Apa yang kita dan planet butuhkan adalah perjanjian komprehensif untuk mengatasi krisis plastik global," tambah Lambertini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement