Rabu 08 May 2019 10:44 WIB

LIPI: Negara Berkembang Sulit Tangani Limbah Berbahaya

Bagi negara berkembang penanganan limbah berbahaya merupakan masalah yang sulit.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Esthi Maharani
Warga melintas di dekat area lahan pembuangan pasir yang diduga mengandung limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3), di kawasan Banjir Kanal Timur, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (16/1/2019).
Foto: Antara/Risky Andrianto
Warga melintas di dekat area lahan pembuangan pasir yang diduga mengandung limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3), di kawasan Banjir Kanal Timur, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (16/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Pergerakan lintas batas limbah berbahaya dan beracun menimbulkan risiko tinggi bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Hal itu disampaikan Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono yang menjadi delegasi Indonesia dalam Ban Amendment Ceremony di Sidang Keempat Belas Konferensi Para Pihak Konvensi Basel Konvensi Stockholm dan Konvensi Rotterdam, yang diselenggarakan di Jenewa, Swiss akhir pekan kemarin.

Berdasarkan laporan terbaru Bank Dunia menyebutkan pada 2050 diperkirakan akan ada 3,40 miliar ton limbah di bumi. Angka ini terus meningkat dari perhitungan pada 2016 yang mencapai 2,01 milar ton limbah. Menurut Agus lingkungan yang bersih adalah hak setiap orang dan menjadi prasyarat untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Agus mengatakan arus pergerakan limbah global saat ini telah berdampak tidak proporsional terhadap negara-negara berkembang.

“Jaringan perdagangan global yang mengekspor limbah berbahaya dan beracun ke negara-negara berkembang ironisnya justru menjadi bisnis yang menguntungkan,” jelas Agus dalam pers rilis humas LIPI yang diterima Republika pada Selasa (7/5).

Agus mengungkapkan bagi negara berkembang penanganan limbah berbahaya merupakan masalah yang sulit.

“Sebagian besar negara berkembang tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi limbah berbahaya dalam upaya melindungi lingkungan dan masyarakat,” ujar Agus.

Agus meminta semua pihak dalam Konvensi Basel agar memperkuat dan meningkatkan implementasi amanat Konvensi Basel dengan lebih efektif dan mendukung berlakunya Amendemen atas Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya.Lebih lanjut, Agus menyayangkan belum tercapainya kesepakatan dalam pemberlakukan amendemen tersebut,.

“Kita semua seharusnya tidak goyah dalam mewujudkan apa yang telah kita sepakati dalam Sidang Ketiga Konferensi Para Pihak Konvensi Basel di Jenewa pada tahun 1995 silam,” ujar Agus.

Agus juga menyampaikan apresiasi Indonesia kepada Aljazair, Islandia, Lebanon, Malawi, Maladewa, dan Namibia terhadap pencapaian negara-negara tersebut atas ratifikasi pada Amendemen atas Konvensi Basel.

Sebagai informasi, Indonesia telah melakukan ratifikasi Amendemen atas Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2005.

Agus menjelaskan, kini hanya perlu dua negara lagi untuk meratifikasi sebelum melanjutkan ke tahapan implementasi Amendemen atas Konvensi Basel.

“Keamanan lingkungan global tidak hanya membutuhkan ilmu pengetahuan, namun juga komitmen politik yang kuat. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengambil tindakan dan melakukan yang telah kita bicarakan,” tutupnya.

Konferensi Para Pihak atau Conference of the Parties (COP) merupakan pertemuan yang diadakan setiap dua tahun. Seluruh pihak akan meninjau dan memutuskan daftar bahan kimia yang akan diatur. Juga mengkaji dan mengadopsi program kerja dan anggaran kerja serta memutuskan pengaturan limbah yang termasuk limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan limbah non B3 dalam perpindahan lintas batas negara

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement