Ahad 28 Apr 2019 12:25 WIB

Seberapa Parah Perubahan Iklim yang Dihadapi Bumi?

Perubahan iklim meningkatkan kenaikan rata-rata permukaan laut global.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Dwi Murdaningsih
Pengunjuk rasa dari kelompok Extinction Rebellion memblokir jalan di sekitar Parliament Square di London, Rabu (24/4). Mereka memprotes kebijakan pemerintah tentang perubahan iklim.
Foto: AP Photo/Matt Dunham
Pengunjuk rasa dari kelompok Extinction Rebellion memblokir jalan di sekitar Parliament Square di London, Rabu (24/4). Mereka memprotes kebijakan pemerintah tentang perubahan iklim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) merilis sebuah laporan pada Maret lalu. Dalam laporan itu disebutkan, empat tahun terakhir adalah rekor terpanas di bumi dan suhu musim dingin di Kutub Utara meningkat 3 derajat celcius sejak 1990.

Dilaporkan laman New Scientist, pada 2018, kenaikan rata-rata permukaan laut global mencapai 3,7 milimeter. Hal itu melampaui kenaikan tahunan rata-rata selama tiga dekade terakhir. Selain itu WMO menyebut bahwa konsentrasi karbon dioksida di atmosfer berada pada level tertinggi dan terus meningkat.

Baca Juga

Menurut WMO, fenomena tersebut tak bisa dianggap sepele. Sebab fenomena ini dapat memicu terjadinya banjir besar, kekeringan, kekurangan pangan, kebakaran hutan pada 2040 jika tindakan tepat sasaran tak segera diambil.  

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah menyuarakan keprihatinannya atas fenomena tersebut. PBB pun mengaggendakan pertemuan United Nations Climate Action Summit 2019 di New York, Amerika Serikat (AS), pada 23 September mendatang.

Pada kesempatan tersebut, setiap negara diharapkan hadir dengan membawa rencana penyelesaian atau solusi untuk menangani peningkatan suhu bumi. "Saya ingin mendengar tentang bagaimana kita akan menghentikan peningkatan emisi pada 2020 dan secara dramatis mengurangi emisi untuk mencapai net-zero emissions pada pertengahan abad," kata Guterres, dikutip laman UN News.

KTT tersebut tidak hanya akan mengundang perwakilan negara, tapi juga sektro swasta, masyarakat sipil, otoritas lokal, dan organisasi internasional terkait. Mereka akan bersinergi untuk mengembangkan solusi ambisius di enam bidang, yakni transisi global ke energi terbarukan, infrastruktur dan kota yang berkelanjutan serta elastik, pertanian berkelanjutan dan pengelolaan hutan serta lautan, ketahanan dan adaptasi terhadap dampak iklim, dan penyelarasan keuangan publik serta swasta dengan net zero economy.

Guterres berharap KTT Iklim pada September mendatang dapat membidani kerangka solusi yang jitu untuk menangani pemanasan global. "Tidak ada lagi waktu untuk menunda," ujarnya.

Upaya komunitas internasional untuk menangani perubahan iklim sebenarnya telah dilakukan sejak era 1990-an, yakni ketika negara-negara meratifikasi Protokol Kyoto. Ia adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).

Protokol Kyoto diadopsi di Kyoto, Jepang, pada 11 Desember 1997 dan mulai berlaku pada Februari 2005. Negara-negara yang meratifikasi protokol tersebut berkomitmen untuk mengurangi emisi atau pengeluaran gas rumah kaca serta karbon dioksida.

Protokol Kyoto menempatkan beban yang lebih berat kepada negara-negara maju di bawah prinsip common but differentiated responsibilities. Menyadari bahwa negara-negara maju memiliki tanggung jawab lebih besar karena kegiatan industri mereka telah mengakibatkan naiknya emisi gas rumah kaca di atmosfer.

Kemudian pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015 di Paris, Prancis, diadopsi Perjanjian Paris atau Paris Agreement. Tujuan dari Perjanjian Paris serupa dengan Protokol Kyoto yakni menuntut berbagai negara, khususnya negara maju, untuk menekan emisi gas karbondioksida guna tetap menjaga suhu bumi du bawah 2 derajat celcius.

Perjanjian Paris dibuka untuk ditandatangani pada 22 April 2016, bertepatan dengan peringatan Hari Bumi. Ia mulai berlaku pada 4 November 2016, 30 hari setelah 55 negara yang menyumbang sedikitnya 55 persen dari emisi global meratifikasi perjanjian tersebut.

Sejak saat itu, lebih banyak negara yang meratifikasi Perjanjian Paris. Pada awal 2017, telah terdapat 125 negara yang menjadi pihak dari perjanjian itu.

Namun optimisme dunia untuk menangani pemanasan global dan perubahan iklim sempat terusik oleh keputusan Presiden AS Donald Trump yang menarik negaranya dari Perjanjian Paris. Trump mengklaim ketentuan atau pasal yang termaktub dalam Perjanjian Paris merugikan negaranya. Di sisi lain, dia pun menuding perjanjian tersebut sebagai akal-akalan yang dimotori Cina.

Trump mengatakan tak akan menempatkan AS menjadi negara pihak sebelum Perjanjian Paris dirombak. "Kami akan bergerak untuk menegosiasikan kesepakatan yang lebih adil dan tentunya tidak merugikan bisnis serta semua pekerja di AS," katanya.

Namun terlepas dari keputusan kontroversial Trump, negara-negara dunia masih memiliki perhatian khusus terhadap isu pemanasan global dan perubahan iklim. Pekan lalu, the Pew Research Center menyatakan bahwa perubahan iklim menjadi perhatian utama dari separuh negara-negara yang disurveinya.

Negara teratas adalah Yunani, di mana 90 persen dari koresponden yang diwawancara di negara tersebut menyebut bahwa perubahan iklim merupakan ancaman utama bagi bumi. Penduduk Korea Selatan, Prancis, Spanyol, Meksiko, dan sejumlah negara lainnya berpandangan serupa.

Survei juga menemukan bahwa kekhawatiran terhadap perubahan iklim terus meningkat di seluruh dunia sejak 2013, yakni ketika Pew Research Center pertama kali mengajukan pertanyaan itu. Kesadaran tentang ancaman perubahan iklim terutama tumbuh subur di kalangan generasi muda.

sumber : reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement