Jumat 19 Apr 2019 10:45 WIB

Ada Tiga Jenis Ancaman Siber Pemilu 2019

Operasi siber merupakan jenis ancaman berupa perusakan atau gangguan sistem IT.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Operasi siber oleh Cina dan Iran (ilustrasi)
Foto: WIKIMEDIA.ORG
Operasi siber oleh Cina dan Iran (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Center for Digital Society (CfDS) Fisipil Universitas Gadjah Mada mengungkapkan, setidaknya tiga ancaman siber selama Pemilu 2019. Baik sebelum, saat, dan setelah pemungutan suara.

"Yaitu operasi siber, operasi informasi dan campuran antara siber dan informas," kata Direktur CfDS UGM, Dedy Permadi, Kamis (18/4).

Dia menerangkan, operasi siber merupakan jenis ancaman berupa perusakan atau gangguan terhadap sistem IT penyelenggara pemilu. Misal, Denial of Service (DoS) dan Distributed Denial of Services (DDoS).

Lalu, pengendalian sistem secara ilegal, dan ada pula intercept atau pencurian data pribadi. Operasi siber saat pemilu pernah terjadi di Indonesia saat situs KPU diretas pada 2014 lalu.

Kala itu, pelakunya merupakan seorang konsultan teknologi asal Indonesia. Serangan siber pernah pula terjadi saat masa pemilu presiden di Taiwan, dan dilakukan peretas dari Cina.

Untuk operasi informasi, merupakan usaha yang dilakukan untuk mengganggu aktivitas dan proses dalam pemlu. Caranya, dengan menyebarluaskan informasi tidak sehat seperti hoaks.

Operasi ini dapat berupa misinformasi, disinformasi, dan malinformasi yang memiliki beragam bentuk. Ada ujaran kebencian, perundungan siber, kekerasan daring, pembocoran data dan delegitimasi hasil.

"Ini seperti aktor dalam pemilu membuat kemarahan yang dibuat-buat untuk mempengaruhi persepsi publik, bisa merusak informasi karena pokok persoalan kemarahan sesuatu yang dikonstruksi," ujar Dedy.

Jenis ancaman berupa operasi informasi pernah melanda AS saat kemenangan Presiden Donald Trump. Lalu, terjadi pula di Brazil saat kemenangan Presiden Jair Bolsonaro.

Hoaks menjadi salah satu bentuk ancaman keamana siber yang tentu mengancam kualitas demokrasi. Data Kominfo 2019, ada 1.224 hoaks sepanjang Agustus 2018-Maret 2019.

Hoaks itu teridentifikasi berkaitan dengan isu-isu politik. Jumlah itu meliputi 175 hoaks pada Januari 2019, 353 hoaks pada Februari 2019 dan 453 hoaks pada Maret 2019.

Operasi informasi ini memanfaatkan bias kognitif manusia yang miliki keterbatasan dalam memproses informasi. Manusia hanya memilih sumber informasi yang mudah dikonsumsi.

Dedy menuturkan, saat ini masyarakat juga hidup dalam era post truth yang mana informasi kebohongan dapat dianggap kebenaran. Sebab, informasi itu dekat dengan keyakinan dan terus meneurs diterima.

Selain itu, terjadi fenomena eco chamber yang mana pengguna media sosial terisolasi pada satu ruang berpikir. Algoritma media sosial bisa menggiring pengguna berlama-lama mengaksesnya.

"Mengakses konten-konten yang dekat dengan kesukaannya, sehingga berimbas kepada isolasi terhadap perspektif lain," ujar Dedy.

Dedy menyampaikan ada lima area dalam proses elektoral yang rentan serangan siber. Mulai informasi yang diterima pemilih, daftar peserta, mesin memilih, mekanisme rekapitulasi dan sistem diseminasi.

Dia menekankan, ancaman serangan siber sangat berpotensi merusak pemilu. Namun, Dedy meyakini, dengan membangun keamanan siber kolaboratif-progresif dapat jadi benteng menghadapinya.

Salah satunya membangun kesadaran manusia dengan pengetahuan atau literasi digital yang baik. Dapat pula dibuat regulasi keamanan yang mumpuni dan meningkatkan kualitas sistem IT keamanan siber.

"Gerakan literasi digital yang sifatnya kolaboratif sudah seharusnya didukung kebijakan pemerintah yang sifatnya progresif," ujar Dedy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement