Selasa 19 Mar 2019 18:20 WIB

Medsos Dituntut Bertanggung Jawab Usai Tragedi Christchurch

Pelaku penembakan Christchurch menyiarkan pembantaian secara langsung di Fb-nya.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani / Red: Reiny Dwinanda
Ilustrasi Media Sosial
Foto: pixabay
Ilustrasi Media Sosial

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK-- Dunia masih berduka menyusul penembakan brutal yang menewaskan 50 orang di dua masjid di Kota Christchurch, Selandia, Jumat (15/3). Gilanya, pelaku, Brenton Tarrant, menyiarkan pembantaian itu secara langsung melalui akun Facebook-nya.

Siaran insiden berdarah itu membuat masyarakat dunia mengecam perusahaan media sosial yang dianggap lebih mementingkan upaya memaksimalkan pendapatan ketimbang perlindungan terhadap keselamatan dan norma kesopanan. Seperti yang dilansir New York Post, Senin (18/3), Facebook, Youtube, 4Chan, dan sebangsanya berpendapat mereka bukanlah perusahaan media.

Baca Juga

Mereka berdalih platform-nya tidak mungkin mengawasi semua konten yang diunggah oleh pengguna. Kolumnis Washington Post, Margaret Sullivan, mengatakan moderator bergaji rendah dan algoritma adalah satu-satunya yang mengawasi ujaran kebencian. Mereka butuh berjam-jam untuk menghapus kekerasan yang telanjur viral.

“Tetapi mengatakan ‘Kami tidak bisa mencegahnya’ dan ‘Itu bukan pekerjaan kami’ bukanlah jawaban yang dapat diterima,” kata Sullivan seraya mengungkapkan bahwa perusahaan media sosial perlu lebih serius dalam mengedit dan menghilangkan kebencian dan teror.

“Mereka harus mencari cara untuk menjadi warga global yang bertanggung jawab serta mesin yang menghasilkan laba,” ujarnya.

Lucinda Creighton, penasihat senior di Counter Extremism Project mengungkapkan perusahaan raksasa media sosial tidak menganggap kejadian ini serius. Google, Youtube, Facebook, dan Twitter semuanya mengatakan mereka bekerja sama dan bertindak demi kepentingan terbaik warga negara untuk mengapus konten ini.

“Mereka sebenarnya tidak melakukannya karena mereka membiarkan video ini muncul kembali sepanjang waktu. Perusahaan teknologi pada dasarnya tidak melihat ini sebagai prioritas,” kata Creighton.

Sementara itu, David French di National Review memandang Tarrant adalah pembunuh massal pertama yang mengubah pembantaiannya menjadi sebuah permainan brutal. Itu adalah kehidupan nyata dari video gim penembak-orang.

French khawatir Tarrant mungkin telah meletakkan ‘Naskah Budaya’ untuk penembakan massal di masa depan.

“Faktanya, mengingat upaya penembak agak jelas untuk memanipulasi opini publik Amerika, di sini pembunuhan dan manifesto tampaknya menjadi bagian dari upaya memancing kemarahan, bersama kebencian, dan dendam,” kata French.

Ia membandingkan Christchurch dengan Columbine dan bagaimana penembakan sekolah itu menginspirasi para peniru. French mengungkapkan peristiwa ini adalah era kegelapan daring yang dihidupkan, kemudian mengalir kembali secara daring.

“Ambang batas lain telah dilewati dan saya khawatir tidak ada jalan untuk kembali,” ujarnya.

Selanjutnya, Tom Rogan dari Washington Examiner mencatat bagaimana para ekstremis mengasah propaganda mereka. Seperti halnya ISIS yang menayangkan videonya dengan musik Islami yang dirancang menginspirasi pendengar terkait warisan kejayaan kuno, Tarrant memainkan lagu ultra nasionalis Serbia.

Tarrant, menurut Rogan, ingin bisa duduk di penjara dan tersenyum dengan keyakinan bahwa orang-orang fanatik di seluruh dunia menyambutnya sebagai pahlawan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement