Sabtu 09 Feb 2019 14:53 WIB

Ada 225 Juta Serangan Siber di Indonesia, Ini Motifnya

Jangan menggunakan wi-fi publik jika melakukan transaksi keuangan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Dwi Murdaningsih
Ilustrasi Serangan Siber
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Serangan Siber

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebanyak 225,9 juta serangan siber menyerang Indonesia dari kurun waktu 2018 silam. Dari jumlah tersebut, beragam motif penyerangan terkuak antara lain uang, politik, serangan personal pada seseorang ataupun instansi, hingga alasan bersenang-senang menyebarkan malware.

“Yang paling banyak itu motifnya adalah uang, baru politik,” kata Praktisi Keamanan Siber  Yohanes Syailendra kepada wartawan, di Jakarta, Sabtu (9/2).

Dia menjelaskan, umumnya keamanan siber dapat diretas jika para hacker mengetahui celah keamanan sebuah sistem data ataupun akun seseorang atau lembaga dengan beragam modus. Salah satunya melalui penyusupan malware dalam sistem aplikasi yang diunduh dari App Store maupun Play Store.

Secara kasat mata, kata dia, aplikasi-aplikasi tersebut sulit dideteksi apakah mengandung malware atau tidak. Selain itu, modus peretasan yang kerap terjadi untuk mengcoding data pengguna adalah dengan menyusup dalam jaringan wi-fi publik.

“Misalnya kita duduk di kafe kopi A, ternyata ada access name wifi-nya ada dua. Itu jangan dipakai, karena sudah pasti salah satunya adalah hacker,” kata dia.

Penggunaan jaringan wifi publik, kata dia, selain rentan membuka akses data pribadi kepada provider, juga rentan disusupi jaringan peretas yang bergerak cepat secara robotik. Oleh karena itu dia mengimbau agar masyarakat tidak melakukan transaksi perbankan lewat akses wi-fi publik.

Sementara itu Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSREC, Pratama Persadha, menilai, hingga saat ini sistem keamanan siber di Indonesia belum sama sekali berpihak kepada rakyat. Maraknya serangan siber yang terjadi, kata dia, selalu menjadikan rakyat sebagai korban dari dampak yang dihasilkan.

“Masyarakat dipaksa untuk menyerahkan data pribadi jika ingin mengakses layanan perbankan, tapi di sisi lain jika terjadi kejahatan siber yang merugikan, pihak perbankan seolah lepas tanggung jawab. Karena memang, ini semua tidak pernah diatur,” kaya Pratama.

Dia mengatakan, pentingnya payung hukum yang jelas dalam menanggulangi dan memperkuat keamanan siber menjadi hal yang harus diseriusi pemerintah. Pasalnya, kejahatan siber serius yang dapat menyerang sistem perbankan kapan saja dan di mana saja akan berdampak pada lumpuhnya seluruh sektor perekonomian dan bisnis di Indonesia.

“Kalau tiba-tiba komputer di bank-bank itu mati karena diserang, maka nggak akan ada perputaran uang. Data nasabah terhapus semua, bisa chaos negara ini,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement